Selasa, 28 Desember 2010

WAJAH PERS MALANG



Laporan Studi Lapangan






Pers di daerah Malang merupakan topik menarik untuk diteliti. Oleh karena itu, penulis menjadikan topik tersebut untuk dikaji dan ditulis dalam laporan ‘Opsi Studi Lapangan’ sebagai syarat kelulusan program ACICIS (Australian Consortium for In-Country Indonesian Studies). Penelitian ini dilakukan selama bulan September sampai dengan November 2001 di bawah bimbingan dosen Universitas Muhammadiyah Malang.

Tema laporan ini berdasarkan pengalaman penulis saat ‘magang’ di Harian Malang Post, Malang. Selama enam minggu dari bulan September sampai dengan Oktober tahun 2001, penulis ‘magang’ di Malang Post sebagai syarat mata kuliah lain di Australian National University, Australia. Walaupun pada awalnya tidak bermaksud meneliti tentang pers di daerah Malang secara rinci, penulis menjadi tertarik keadaan pers di Malang setelah ‘magang’ satu minggu di Harian Malang Post. Selama bergaul dengan wartawan Malang Post sekaligus wartawan dari surat kabar lain, penulis menyadari ternyata pers di daerah Malang sangat hidup dan merupakan bidang studi yang menarik untuk diteliti.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua karyawan Malang Post yang tidak mungkin namanya disebut satu per satu di sini. Namun sesuai dengan pengalaman dan perkembangan ide-ide, penulis mengucapkan terima kasih kepada Pak Junaedi, Pak Noordin, Pak Samsul, Pak Dayat, Mbak Dewi dan Mbak Itok. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada karyawan surat kabar lain di Malang termasuk karyawan Memo Arema dan karyawan Radar Malang yang membantu memberi informasi yang diperlukan selama penelitian. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Bapak Dr H.A. Habib, Pengurus Program ACICIS di Malang, dan Ibu Dra Tri Sulastyaningsih, dosen pembimbing, di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Muhammadiyah Malang.

Penulis tidak bisa menuangkan semua pengalaman dalam laporan ini. Dari pengalaman itu, penulis sangat optimis perkembangan pers Malang di masa depan. Unsur yang paling mengesankan adalah persahabatan di antara wartawan dan redaksi dari surat kabar lain. Kerja sama tanpa batas ini menunjukkan semangat persatuan dalam pers.

Penulis mengakui bahwa penelitian ini masih banyak kekurangan. Untuk itu, saran dan kritik membangun, sangat penulis perlukan. Semoga penilitian ini dapat bermanfaat.



                                                                                                                                    Kirrilee Hughes

            Malang, Jawa Timur
            Desember 2001

Daftar Isi


abstraksi........................................................................................................... 4
bab I : Pendahuluan................................................................................. 9
Latar Belakang...................................................................................................... 9
Rumusan Masalah................................................................................................ 10
Tujuan Penelitian................................................................................................. 10
Kegunaan Penelitian........................................................................................... 10
Ruang Lingkup....................................................................................................... 10
Definisi Istilah...................................................................................................... 11
Metode Penelitian................................................................................................ 11
Bab II : Riwayat Pers di Malang................................................ 13
Surat Kabar yang Berkembang Saat Ini......................................................... 13
Ø   Surat Kabar Daerah........................................................................................ 13
Ø   Surat Kabar Regional...................................................................................... 15
Ø   Surat Kabar Nasional...................................................................................... 17
Sejarah Surat Kabar di Malang....................................................................... 18
Kecenderungan Keadaan Pers di Malang....................................................... 19
Bab III : Perjalanan Pers di Indonesia 1945 - 2001...... 21
1945 – 1973: Dari Pers Perjuangan ke Pers Partisan...................................... 21
1973 – 1990: Depolitisasi dan Komersialisasi Pers......................................... 23
1990 – 1997: Era Repolitisasi?............................................................................. 25
1997: Pengaruh Krismon...................................................................................... 26
1998: Reformasi dan Kebebasan Pers................................................................ 27
Ringkasan............................................................................................................... 28
Bab IV : Fenomena Pers Daerah dan Masa Depan.... 30
Jawa Pos Grup........................................................................................................ 32
Masa Depan............................................................................................................ 33
Ø   Tenaga Pendorong.......................................................................................... 33
Ø   Ancaman......................................................................................................... 35
Ringkasan............................................................................................................... 38
Bab V : Penutup............................................................................................ 39
Daftar Pustaka......................................................................................... 40
Lampiran........................................................................................................... 42
Lampiran A: Tabel Surat Kabar Daerah di Malang............................................... 42
Lampiran B: Tabel Surat Kabar Regional dan
Surat Kabar Nasional di Malang........................................................................... 43

 


Abstraksi





Industri pers di Malang sangat hidup dengan keberadaan tiga surat kabar daerah serta lima surat kabar regional maupun nasional yang mempunyai biro di Malang. Wajah pers Malang dapat mewakili kecenderungan-kecenderungan umum di tubuh pers Indonesia. Tujuan penelitian ini adalah menjelaskan keadaan pers di daerah Malang baik dulu maupun saat ini, menerangkan fenomena pers daerah dalam koteks sejarah pers di Indonesia dan menentukan isu-isu apa yang paling mempengaruhi perkembangannya di masa depan. Metode yang digunakan adalah pendekatan kualitatif yang berdasarkan wawancara dengan karyawan pers di Malang serta korespondensi dengan karyawan pers di kota-kota lain, terutama Surabaya.

Walaupun istilah pers dapat diartikan sebagai semua media cetak, yang menjadi fokus istilah ‘pers’ dalam abstrak ini adalah industri persuratkabaran yang merupakan media cetak yang sangat penting di Malang dan yang memberikan kesempatan untuk diteliti.


RIWAYAT PERS DI MALANG

Akhir tahun 2001 di Malang terdapat tiga jenis pers yang jelas berbeda, yaitu pers nasional, pers regional dan pers daerah, yang juga disebut pers lokal. Keadaan pers di Malang adalah:

·         Tiga surat kabar daerah, yaitu Malang Post, Memo Arema dan Radar Malang.
·         Tiga surat kabar regional yang dapat dibeli sekaligus menempatkan wartawan di Malang, yaitu Radar Surabaya, Surabaya Post dan Surya.
·         Dua surat kabar nasional yang beredar maupun memiliki biro di Malang, yaitu Jawa Pos dan Kompas.

Ø  Surat Kabar Daerah di Malang:


Surat
Kabar

Jenis

Tiras

Tahun Pendirian

Status

Jumlah Karyawan

Malang Post


Harian Pagi
12 halaman

4.000 – 5.000

1998

Jawa Pos Grup

60 orang (24 orang di redaksi)

Memo Arema


‘Edisi lokal’ Memorandum
12 halaman

5.000 – 6.000

1999

Jawa Pos Grup

26 orang (10 orang di redaksi)

Radar Malang


Suplemen dlm Jawa Pos
8 halaman

36.000

1999

Jawa Pos Grup

18 orang (10 orang di redaksi)

Ø  Surat Kabar Regional di Malang:


Surat Kabar


Jenis

Jumlah Tiras

Tahun Pendirian

Tahun Masuk Malang

Status

Karyawan di Malang

Radar Surabaya


Harian Pagi
16 halaman

2.500
- 400 di Malang

2001


2001

Jawa Pos Grup

1 orang

Surabaya Post


Harian Sore
20 halaman

85.000
- 17.000 di Malang

1953

1974

CV Surabaya Post

12 orang (6 orang di redaksi)

Surya



Harian Pagi
20 halaman

150.000
- 22.500 di Malang

1989

1989

Kompas –Gramedia
Grup

10 orang (6 orang di redaksi)


Ø  Surat Kabar Nasional di Malang:


Surat Kabar


Jenis

Tiras

Tahun Pendirian

Tahun Masuk Malang

Status

Karyawan di Malang

Jawa Pos



Harian Pagi
32 halaman

350.000
- 36.000 di Malang

1949

1979

Jawa Pos Grup

18 orang (10 orang di redaksi)

Kompas



Harian Pagi
36 – 44 halaman

430.000
- 8.000 di Malang

1965

1970an

Kompas – Gramedia Grup

7 orang (2 orang di redaksi)


Ø  Sejarah Surat Kabar di Malang

Suara Indonesia – Sekitar tahun 1984 Harian Suara Indonesia didirikan di Malang dan merupakan anak perusahaan Sinar Kasih Grup. Tahun 1980an, Harian Suara Indonesia di Malang cukup kuat dengan tiras mencapai 40.000 eksemplar per edisi dan juga sempat beredar ke Blitar, Jember, Pasuruan dan Surabaya. Pada tahun 1993, Suara Indonesia diambil alih oleh Jawa Pos Grup dan dipindahkan ke kota Surabaya. Pada akhir tahun 2000, Suara Indonesia ditutup dan dibuka kembali dengan nama Radar Surabaya.

Bhirawa – Pada tahun 1994, surat kabar pro-Golkar, Bhirawa, diambil alih oleh Jawa Pos Grup. Pada tahun 1997 mengalami kesulitan dengan pencarian pasar di Surabaya dan kemudian dipindahkan ke Malang. Setelah dua tahun di Malang, kondisinya tidak lebih baik. Pada Juni 1998, awal era reformasi, Jawa Pos Grup menarik bantuannya dan Bhirawa kembali ke Surabaya. Saat ini, Bhirawa masih memiliki biro di Malang tetapi sangat susah dibeli tanpa berlangganan.
Dari penjajakan pers di Malang, beberapa trend muncul:

1.      Di Malang ada tiga jenis surat kabar yang jelas berbeda, yaitu nasional, regional dan daerah/lokal.
2.      Semua surat kabar daerah di Malang dimiliki oleh satu konglomerat media, yaitu Jawa Pos Grup.
3.      Surat kabar daerah tersebut didirikan sejak tahun 1998, atau awal era reformasi.
4.      Dari semua surat kabar yang tersedia di Malang, hanya ada satu yang merupakan perusahaan sendiri, yaitu Surabaya Post. Yang lain dimiliki oleh Jawa Pos Grup ataupun Kompas Gramedia Grup.

Trend ini menunjukkan dua fenomena, yaitu fenomena oligopoli pers di Indonesia oleh grup-grup besar, dan fenomena pers daerah yang lebih lokal lagi dari pada pers regional dan yang muncul sejak era reformasi.


PERJALANAN PERS DI INDONESIA 1945 – 2001

Perjalanan pers di Indonesia telah mengalami proses cukup panjang dan penuh liku. Sejarah pers di Indonesia tidak terlepas dari sejarah politik dan dapat dipecah menjadi beberapa periode:


1945


1950an – 1960an       
1970an


1980an





1990an

1994
1996


1997


1998



Pers di Indonesia mulai sebagai pers perjuangan yang bertujuan nasionalis.

Mulai menjadi pers partisan dengan suatu terbitan mempunyai tujuan sama dengan partai-partai politik yang mendanainya.

Pers mengalami depolitisasi dan menjadi pers komersial dengan pencarian dana dari periklanan dan jumlah pembaca yang tinggi.

Mulai menjadi industri besar. Sebagai respons ‘ketanganbesian’ pemerintah, surat kabar besar mulai proses diversifikasi sebagai alat melindungi kepentingan. Proses ini melahirkan konglomerat media maupun pers regional yang kuat secara ekonomi dan keredaksian.

Pers mulai proses repolitisasi dengan memuat berita yang kritis terhadap pemerintah. Dapat dilihat dalam peristiwa:
Tempo, DeTIK dan Editor ditutup oleh pemerintah
Wartawan Bernas dibunuh di Yogyakarta. Kaki tangan pemerintah diduga sebagai pelakunya. 

Peristiwa Krismon. Harga kertas koran membubung tinggi. Banyak surat kabar mengurangi jumlah halaman dan masa terbit.

Gerakan reformasi menyebabkan jatuhnya Presiden Suharto dan Orde Baru. UU RI No. 40 1999 menjamin keberadaan pers bebas. Banyak terbitan muncul, khusus di daerah. Pers mengalami proses lokalisasi.

Fenomena pers daerah yang muncul di Malang adalah akibat proses lokalisasi tersebut. Pers daerah lebih lokal lagi jika dibanding dengan pers regional dan kedua istilah tidak lagi dapat ditukar.


FENOMENA PERS DAERAH DAN MASA DEPAN

Fenomena pers daerah muncul dan berkembang di Indonesia, dan Malang dapat dianggap sebagai salah satu daerah yang mewakili fenomena tersebut. Saat ini, walaupun keberadaan surat kabar nasional tetap penting, ada kecenderungan mereka mulai mendirikan surat kabar di daerah sehingga tidak lagi berkonsentrasi di ibukota negara lagi.

Meskipun fenomena pers daerah mulai berkembang, kebanyakan terbitan bukan independen, tetapi dimiliki konglomerat media. Jawa Pos Grup sangat aktif dalam peran ini, khususnya di Jawa Timur, dan membuka surat kabar di daerah-daerah yang belum pernah ada surat kabar lokalnya. Di daerah lain, seperti di Malang, Jawa Pos Grup tidak hanya memiliki satu surat kabar daerah, tetapi justru menguasai industri pers di daerah itu sekaligus semua tingkat pasar.

Ø  Tenaga Pendorong

Otonomi Daerah – Karyawan industri pers di Malang mengakui otonomi daerah sebagai isu terpenting bagi perkembangan pers daerah di masa depan. Otonomi daerah merupakan kebijakan yang menyerahkan kekuasaan pemerintah dari pusat ke daerah. Penyerahan tersebut berarti bahwa status daerah-daerah ditingkatkan, sekaligus dapat merumuskan kebijakan sendiri. Yang berkembang adalah minat baru dari masyarakat terhadap daerahnya sendiri yang menyebabkan suasana yang sangat kondusif untuk pers daerah.

Teknologi Baru – Dengan teknologi baru, misalnya penggunaan modem, suatu terbitan lokal dapat memperoleh berita nasional dan internasional yang kemudian dimuatnya. Di Malang, baik Memo Arema maupun Malang Post ada satu halaman untuk berita naisonal maupun internasional, tetapi tetap memuat 60 % - 70% berita lokal.


Ø  Ancaman

Wartawan - Ancaman terhadap perkembangan pers daerah di masa depan terletak pada wartawannya sendiri dengan tingkat kesejahteraan, terutama dalam sistem gaji, yang rendah bagi orang profesional. Hal tersebut dapat mewarnai obyektifitas mereka yang merupakan kunci sebuah pers daerah sehingga dapat dipercaya oleh masyarakat. Rendahnya gaji juga melahirkan ‘budaya amplop’ dan ‘wartawan bodrek’ yang justru berpengaruh buruk bagi indutstri pers seutuhnya.

Pihak Masyarakat – Masyarakat baik sebagai pembaca maupun nara sumber, sangat berpengaruh terhadap keberadaan pers daerah. Seperti salah satu wartawan di Malang mengungkapkan, “Walaupun ada pers daerah, jika tidak mengena dengan keinginan masyarakat, pers daerah itu tidak bisa bertahan lama”[1].  


Kalau tantangan bagi pers daerah dapat ditangani dan diatasi dengan baik, pers daerah tidak dianggap sebagai fenomena sementara lai, tetapi akan menjadi unsur kehidupan sehari -hari di Indonesia yang dapat berlangsung lama.


PENUTUP

Beberapa observasi muncul dari penjajakan wajah pers Malang:

·         Pers di Indonesia memasuki masa baru, yaitu masa pers daerah yang mencerminkan proses lokalisasi yang sedang dialami dalam era reformasi dan otonomi dearah ini.

·         Pers daerah yang muncul jelas berbeda dari pers regional dan pers nasional. Pers daerah lebih lokal dari pers regional dan kedua istilah tidak lagi dapat ditukar.

·         Pengaruh terbesar bagi pers di Indonesia pada masa lalu adalah keterlibatan pemerintah dalam ancaman pembredelan tanpa alasan. Pengaruh terbesar bagi pers di masa depan, terutama pers daerah, masih tergantung kebijakan pemerintah lagi, yaitu kebijakan otonomi daerah.  Pers Indonesia tidak dapat dipisahkan dari kondisi politik, dan di masa depan barangkali yang akan muncul adalah pers yang dapat mempengaruhi bentuk pemerintah.



*****

Bab I : Pendahuluan





Latar Belakang






 

Rumusan Masalah

Penelitian ini menyoroti tiga permasalahan:
·         Bagaimana keadaan pers di Malang, baik dulu maupun kini?
·         Bagaimana fenomena pers daerah muncul dalam konteks sejarah pers di Indonesia?
·         Isu-isu apa saja yang paling mempengaruhi perkembangan pers daerah di masa depan, khususnya di daerah Malang?

 

Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah menjelaskan keadaan pers di daerah Malang dan menentukan bagaimana keadaan tersebut mewakili kecenderungan-kecenderungan dalam pers di Indonesia.

 

Kegunaan Penelitian

Kegunaan penelitian ini sebagai salah satu literatur tentang kondisi pers daerah Malang. Hal ini mengingat masih terbatasnya informasi tentang pers di Malang. Selain itu, penelitian ini juga dapat dijadikan referensi bagi penelitian lain.

 

Ruang Lingkup



 

Definisi Istilah

Surat kabar, atau koran, yang terbit di daerah tertentu, artinya kantor pusat berlokasi di daerah tersebut dan mayoritas berita yang dimuat adalah berita mengenai daerah tersebut. Surat kabar daerah biasanya tidak dapat dibeli di daerah-daerah lain, kecuali berlangganan.         
Contoh: Harian Malang Post adalah sebuah surat kabar daerah yang kantor pusatnya berada di kota Malang dan kebanyakan berita yang dimuatnya mengenai isu-isu dan kejadian-kejadian di Kotamadya dan Kabupaten Malang. Malang Post tidak dapat dibeli secara eceran di daerah lain, misalnya Surabaya, Banyuwangi atau Pasuruan.

§  Pers Regional
Surat kabar yang terbit di kota (biasanya di ibukota propinsi) dan disebarkan ke daerah lain yang berada di luar wilayah kota itu, tetapi tidak ke seluruh negara Indonesia.
Contoh: Baik harian pagi Surya maupun harian sore Surabaya Post terbit di kota Surabaya dan kantor pusatnya juga berlokasi di Surabaya. Namun, kedua surat kabar tersebut dapat dibeli di seluruh Jawa Timur misalnya Malang, Banyuwangi, Kediri, Blitar dan Pasuruan, tetapi bukan selaras nasional.

Surat kabar yang terbit di daerah tertentu dan disebarkan ke sebagian besar ke wilayah negara Indonesia.
Contoh: Harian Kompas terbit di kota Jakarta dan disebarkan ke seluruh pulau Jawa, sekaligus pulau-pulau lain termasuk pulau Sumatra, pulau Kalimantan dan pulau Sulawesi.

 

Metode Penelitian

Untuk mendapatkan data tentang wajah pers Malang dan fenomena pers daerah dalam konteks sejarah pers Indonesia sekaligus menentukan faktor yang mempengaruhinya menggunakan pendekatan kualitatif. Pendekatan tersebut dilakukan dengan metode wawancara kepada karyawan pers di Malang serta korespondensi dengan karyawan pers di kota-kota lain, terutama Surabaya. Penelitian ini juga berdasarkan pengalaman pribadi penulis dalam industri pers daerah di Malang.
Informasi umum mengenai pers daerah, pers regional dan pers nasional di Indonesia diperoleh dari literatur tertulis dan internet.



*****

Bab II : Riwayat Pers di Malang





Sebagai salah satu wilayah propinsi Jawa Timur, di Malang terdapat tiga macam pers, yaitu pers nasional, pers regional dan pers daerah yang juga disebut pers lokal. Ketiga jenis media tersebut berbeda dan terwujud menjadi beberapa terbitan. Dalam bab ini, surat kabar yang tersebar di daerah Malang pada tahun 2001 akan dijelaskan satu per satu. Kemudian, surat kabar yang dulu beredar di daerah Malang tetapi sekarang tidak beredar lagi akan dibahas sebagai sejarah pers di Malang. Dari informasi tersebut, beberapa kecenderungan muncul sehingga dapat melukiskan wajah pers Malang.  


Surat Kabar yang Berkembang Saat Ini

Keadaan pers di Malang tahun 2001 adalah:
·         Tiga surat kabar yang disebut sebagai surat kabar daerah, atau surat kabar lokal.
·         Tiga surat kabar regional yang dapat dibeli di daerah Malang sekaligus menempatkan wartawan di Malang.
·         Dua surat kabar nasional yang beredar di daerah Malang, dan memiliki kantor perwakilan di Malang.


Ø  Surat Kabar Daerah

Yang dapat disebut sebagai surat kabar daerah, atau surat kabar lokal, di Malang adalah harian pagi Malang Post, harian pagi Memo Arema dan suplemen Radar Malang yang dijual bersama dengan harian pagi umum Jawa Pos[3].

Malang Post
Harian pagi Malang Post didirikan pada bulan Agustus 1998, dalam euforia reformasi dan dapat disebut sebagai surat kabar lokal pertama di daerah Malang[4]. Harian ini terdiri dari 12 halaman, yang memuat 70% berita lokal dan 30% berita nasional dan internasional. Ada sembilan halaman dari 12 halaman terisi peristiwa, isu maupun pendapat lokal. Malang Post memiliki karyawan sebanyak 60 orang, termasuk 15 orang wartawan dan sembilan orang redaktur. Malang Post berstatus anak perusahaan  Jawa Pos Grup yang dipimpin oleh Dahlan Iskan. Pada awalnya, tiras Malang Post sebanyak 15.000 eksemplar per edisi, khususnya pada peristiwa ‘dukun santet’ di Jawa Timur. Dengan timbulnya surat kabar lokal lain, tiras Malang Post menurun dan kini berkisar 4.000 hingga 5.000 eksemplar per edisi.

Memo Arema
Harian Memo Arema muncul di Malang pada bulan November tahun 1999[5]. Sebenarnya Memo Arema bukan surat kabar yang baru, tetapi merupakan koran lama, yaitu Memorandum (yang diterbitkan di Surabaya) yang ‘dimalangkan’. Pada awalnya, harian ini merupakan suplemen yang terdiri dari satu halaman saja dan dimasukkan ke dalam eksemplar Memorandum yang dijual di daerah Malang. Beberapa bulan setelah pendiriannya, Memo Arema lepas dari Memorandum, dan menjadi surat kabar sendiri. Artinya, Memo Arema sebagian besar berisi berita Malang dan hanya sebagian kecil saja mengambil berita dari Memorandum, atau dalam kata lain, menjadi ‘edisi lokal’ Memorandum bagi daerah Malang. Pada awalnya, Memo Arema yang terdiri dari 12 halaman, berisi lima halaman terbitan sendiri dan tujuh halaman dengan berita yang diambil dari Memorandum. Mulai bulan November 2001, jumlah halaman Memo Arema yang terbit di Malang bertambah dari lima halaman menjadi tujuh halaman, dan hanya lima halaman yang mengambil berita dari Memorandum.
Harian Memorandum berasal dari daerah Malang, sebagai surat kabar mingguan untuk mahasiswa pada tahun 1969[6]. Tahun 1982, Memorandum dipindahkan ke Surabaya, tetapi setelah itu, ternyata mengalami kesulitan dengan pemasaran. Memorandum mulai berorientasi Islam sampai tahun 1987, kemudian menjadi lebih sensasionalis sebelum akhirnya menentukan ‘dasar berita’. Pada akhir tahun 1991 tiras Memorandum sekitar 25.000 – 35.000 eksemplar, tetapi dengan kejadian Perang Teluk, dan begitu sedikit liputannya, tiras Memorandum mulai menurun. Pada bulan Juli 1992, Memorandum diambil-alih oleh Jawa Pos Grup. Sejak tahun itu, Memorandum digunakan oleh Jawa Pos Grup untuk meraih kelas pembaca menengah ke bawah.
Sekarang, Memo Arema dikenal sebagai surat kabar yang terfokus pada berita kriminal, salah satu strategi meraih pasar. Akhir tahun 2001, tirasnya antara 5.000 dan 6.000 eksemplar per edisi. Memo Arema merupakan ‘surat kabar daerah’ ketiga yang di bawah payung Memorandum, setelah Memo Kediri dan Memo Madiun.





Radar Malang
Radar Malang didirikan pada bulan Agustus tahun 1999 dengan slogan “Mengawal reformasi dan otonomi daerah”[7]. Radar Malang merupakan suplemen yang dimasukkan ke dalam eksemplar Jawa Pos yang dijual di daerah Malang. Radar Malang beroperasi dari biro Jawa Pos yang berada di Malang. Radar Malang, seperti ke-23 Radar lain yang diterbitkan oleh Jawa Pos di daerah-daerah tertentu, merupakan salah satu strategi untuk melokalisasi surat kabar Jawa Pos di daerah penjualan. Suplemen Radar Malang terdiri dari delapan halaman, tetapi hanya lima halaman tentang Malang, sedangkan yang lain meliputi “Metro” (Surabaya) dan “Hiburan” (nasional). Kantor Radar Malang memiliki 18 karyawan, kebanyakan wartawan dan redaktur, sedangkan tugas lain, seperti iklan dan pemasaran, dilakukan oleh karyawan Jawa Pos sendiri. Tirasnya sama dengan tiras Jawa Pos di daerah Malang, yaitu sekitar 36.000 eksemplar per edisi.
Walaupun Malang Post dianggap sebagai harian umum dan Memo Arema terfokus pada berita kriminal, Radar Malang dianggap sebagai pemuat ‘soft news’.  


Ø  Surat Kabar Regional

Yang disebut sebagai surat kabar regional beredar di Malang adalah harian pagi Radar Surabaya, harian sore Surabaya Post dan harian pagi Surya[8]. Selain itu, mereka juga menempatkan wartawan di Malang.

Radar Surabaya merupakan surat kabar tersendiri, bukan suplemen Jawa Pos seperti Radar Malang. Walaupun demikian, Radar Surabaya juga berstatus anak perusahaan Jawa Pos Grup. Radar Surabaya didirikan pada bulan Januari 2001, dan sebenarnya merupakan peralihan surat kabar Suara Indonesia yang terganti nama[9]. Radar Surabaya mulai dijual di daerah Malang pada tahun 2001. Menurut situsnya, tirasnya sebanyak 40.000 eksemplar[10], tetapi menurut salah satu karyawan Radar Surabaya, tirasnya hanya 2.000 – 3.000  eksemplar dan sekitar 400 eksemplar yang diredar di daerah Malang. Ketidakpastian jumlah tiras inilah, menunjukkan betapa sulitnya memperoleh angka tiras surat kabar di Indonesia yang dapat dipercaya[11].
Jumlah orang di bidang keredaksian di Radar Surabaya di Surabaya sekitar 35 orang, sedangkan yang ditugaskan di Malang hanya satu wartawan. Surat kabar Radar Surabaya terdiri dari 16 halaman, dengan berita Malang dimasukkan ke dalam halaman 13 yang berjudul halaman “Jatim”.
Walaupun oplah Radar Surabaya masih rendah, surat kabar tersebut dianggap sebagai pemain baru di media cetak Jawa Timur dan sesuai keinginan Jawa Pos Grup agar dapat memasuk semua tingkat pasar.

Surabaya Post
Surabaya Post didirikan pada tahun 1953 di kota Surabaya, dan mulai dipasarkan di daerah Malang sekitar tahun 1974[12]. Sekarang Surabaya Post merupakan satu-satunya harian sore yang dapat dibeli di daerah Malang, sehingga memiliki strategi pemasaran yang berbeda dari surat kabar lain. Selain itu, perbedaan lain Surabaya Post dengan surat kabar lain di Jawa Timur adalah Surabaya Post tidak dimiliki grup-grup besar, tetapi oleh CV Surabaya Post. Kebebasan ini dapat tercermin dalam keputusan pemasaran untuk tidak lagi mengedarkan sampai ke tingkat nasional tetapi cukup mengambil penetrasi pasar Surabaya dan sekitarnya. Akibatnya, Surabaya Post dikenal sebagai surat kabar yang sangat regional.
Jumlah total tiras Surabaya Post adalah 85.000 eksemplar, sedangkan yang beredar di daerah Malang 17.000 eksemplar. Surabaya Post terbit sebanyak 20 halaman, termasuk suplemen “Jatim Post” yang terdiri dari empat halaman. Berita dari daerah Malang dimuat di suplemen tersebut, dengan satu halaman berjudul “Malang”. Biro Surabaya Post di Malang mempekerjakan 12 orang dan setengahnya bertugas sebagai wartawan.
Tingkat profesionalisme surat kabar Surabaya Post diakui cukup tinggi, dan pasarnya kalangan menengah. Walaupun demikian, saat ini tirasnya menurun dibandingkan tahun 1985 sebanyak 145.000 eksemplar per edisi.

Surya
Harian Surya muncul pada tahun 1986 di kota Surabaya dalam bentuk mingguan yang bernama Mingguan Surya[13]. Pada saat itu, tiras Mingguan Surya sekitar 50.000, dan diterbitkan oleh PT Antar Surya Jaya yang dipayungi Pos Kota Grup, yang berpusat di Jakarta. Pada tahun 1989, Mingguan Surya diambil alih oleh Kompas - Gramedia Grup, kemudian berubah menjadi Harian Pagi Surya dan langsung masuk pasar di daerah Malang. Pada akhir tahun 2001, tirasnya sebanyak 150.000 eksemplar per edisi, termasuk 22.500 eksemplar yang diredar di daerah Malang.
Di kantor pusat Surya di Surabaya ada 250 karyawan, termasuk sekitar 70 orang di bidang redaksi/wartawan. Di Biro Surya di Malang ada sepuluh karyawan, termasuk enam wartawan. Surya terdiri dari 20 halaman, dengan satu halaman, yaitu halaman lima, berjudul “Malang Raya”. Surya, yang mengakui dirinya sebagai suara masyarakat Jawa Timur, sekarang memiliki sepuluh biro di  Jawa Timur.
Sekarang Surya dikenal sebagai surat kabar nomor dua di Surabaya, setelah Jawa Pos.

  

Ø  Surat Kabar Nasional

Yang dapat disebut sebagai surat kabar nasional yang beredar di Malang maupun berada kantor perwakilan, atau biro, di Malang adalah harian Jawa Pos dan harian Kompas[14].

Jawa Pos
Jawa Pos didirikan pada tahun 1949 di kota Surabaya. Pada tahun 1982 Jawa Pos diambil alih oleh Grafiti Pers Grup dan Kepala Biro majalah mingguan Tempo di Surabaya, sampai akhirnya Dahlan Iskan, terpilih sebagai kepala baru Jawa Pos. Pada saat diambil alih oleh Grafiti Pers Grup, tiras Jawa Pos hanya 6.800 eksemplar. Pada jangka waktu sepuluh tahun, tirasnya meningkat sampai 350.000 eksemplar dan Jawa Pos menjadi surat kabar ketiga terbesar di Indonesia[15]. Pada tahun 1994, ketika majalah Tempo ditutup oleh Departemen Penerangan, kepemilikan Jawa Pos diubah, 40% saham dikuasi Grafiti Pers, 20% karyawan Jawa Pos dan 40% oleh perseorangan, termasuk Goenawan Muhammad[16]. Pada akhir tahun 2001, tiras Jawa Pos tetap 350.000 eksemplar per edisi[17], dan Jawa Pos baru mulai terbit di kota Los Angeles, Amerika Serikat dan kota Beijing, Cina, bahkan berencana untuk terbit di kota Perth, Australia, dengan tujuan melayani masyarakat Indonesia yang tinggal di negara-negara tersebut[18].
Harian Jawa Pos masuk daerah Malang sekitar tahun 1979. Biro Jawa Pos di Malang sekarang bertanggung jawab atas suplemen Radar Malang. Tiras Jawa Pos di Malang sama dengan tiras Radar Malang, yaitu 36.000 eksemplar per edisi.
 
Kompas
Harian Kompas merupakan satu-satunya surat kabar yang diterbitkan di Jakarta dan juga beredar di Malang. Kompas didirikan pada tahun 1965 dengan maksud menyuarakan kepentingan Partai Politik Katolik. Sejak dulu, Kompas diakui sebagai surat kabar nomor satu di Indonesia, dan dalam rangka tiras, Kompas merupakan surat kabar nomor dua di Asia Tenggara. Pada awalnya tiras Kompas hanya 5.000 eksemplar, tetapi pada tahun 1994 sebanyak 525.000 eksemplar. Namum pada tahun 1999, tirasnya menurun sedikit sampai 430.000[19] eksemplar per edisi.  Harian Kompas masuk pasaran Malang tahun 1970an, dan sekarang punya biro di Malang yang mempekerjakan tujuh orang. Dari jumlah itu, dua orang sebagai wartawan. Tirasnya di Malang sekarang 8.000 eksemplar per edisi. Kompas terdiri dari antara 36 dan 44 halaman, tetapi di Jawa Timur, termasuk Malang, ditambahi suplemen “Jawa Timur”.
Sekarang Kompas merupakan surat kabar utama dari Kompas - Gramedia Grup yang diakui sebagai salah satu konglomerat media yang terbesar di Indonesia.

 

 

Sejarah Surat Kabar di Malang

Untuk memahami sejarah persuratkabaran di Malang, perlu dibahas mengenai surat kabar yang pernah muncul di Malang. Sekarang mereka telah tidak ada lagi karena pindah ke kota lain atau ditutup. Namun, harus diperhatikan bahwa sejarah pers di Malang tidak pernah ditulis dalam literatur, tetapi merupakan sejarah oral yang tergantung pada daya ingat karyawan dan warga yang diwawancarai.

Sekitar pada tahun 1984 Harian Suara Indonesia didirikan di kota Malang[20]. Waktu itu, Suara Indonesia dimiliki oleh Sinar Kasih Grup, yang dulu menerbitkan Harian Sinar Harapan. Kemudian Harian Sinar Harapan ditutup oleh pemerintah dan diganti dengan Suara Pembaruan.
Tahun 1980an, harian Suara Indonesia di Malang cukup kuat dengan tiras mencapai 40.000 eksemplar per edisi. Pada waktu itu, Suara Indonesia memuat sekitar 60% berita lokal, yaitu berita dari daerah Malang, dan sekitar 40% berita nasional dan internasional. Tetapi, Suara Indonesia tidak dapat disebut ‘surat kabar lokal’, karena sempat beredar ke Blitar, Jember, Pasuruan dan Surabaya. Dengan demikian, Suara Indonesia lebih layak disebut ‘surat kabar regional’.
Namun, pada tahun 1990an Suara Indonesia mengalami permasalahan manajemen sehingga pada tahun 1993, Suara Indonesia diambil alih oleh Jawa Pos Grup dan dipindahkan ke kota Surabaya. Pada waktu itu, Suara Indonesia mengalami ‘repositioning’ dan berubah menjadi harian bisnis. Pada akhir tahun 2000, Suara Indonesia ditutup, dan dibuka kembali dengan nama Radar Surabaya pada bulan Januari 2001. Harian Radar Surabaya belum dapat meraih tiras seperti Suara Indonesia, tetapi ada harapan bahwa oplahnya akan naik di masa depan.

Surat kabar Bhirawa adalah surat kabar pro-Golkar yang dulu berbasis di Surabaya. Pada tahun 1994, Bhirawa mulai diambil alih oleh Jawa Pos Grup yang memberi dana sebesar Rp 1.5 miliar selama empat tahun berikutnya[21]. Pada tahun 1994, tiras Bhirawa sebanyak 75.000 eksemplar[22], tetapi mulai menurun, dan sekitar tahun 1997, Bhirawa mengalami kesulitan dengan pencarian pasar di Surabaya dan dipindahkan ke Malang. Namun, setelah dua tahun di Malang, kondisi Bhirawa juga tidak lebih baik, karena ada dualisme kepimpinan. Satu bulan setelah kejatuhan Suharto dan rezim Orde Baru, yaitu bulan Juni 1998, Jawa Pos Grup menarik bantuannya, dan Bhirawa kembali ke Surabaya.
Sekarang, surat kabar Bhirawa masih memiliki kantor perwakilan di Malang, tetapi eksemplarnya sangat sulit dibeli tanpa berlangganan. 

 

 

Kecenderungan Keadaan Pers di Malang

Dari pejajakan keadaan pers di Malang di atas, beberapa kecenderungan telah muncul:

1.      Di Malang memang ada tiga jenis surat kabar yang jelas berbeda, yaitu daerah/lokal, regional dan nasional.
2.      Ketiga surat kabar lokal di daerah Malang dimiliki oleh satu konglomerat media, yaitu Jawa Pos Grup.
3.      Surat-surat kabar lokal tersebut didirikan sejak tahun 1998, atau awal era reformasi.
4.      Dari tiga surat kabar regional dan dua surat kabar nasional yang tersedia di daerah Malang, hanya satu merupakan perusahaan sendiri, yaitu Surabaya Post. Surat kabar lain dimiliki Jawa Pos Grup, yaitu Harian Jawa Pos dan Harian Radar Surabaya, dan Kompas - Gramedia Grup, yaitu Harian Kompas dan Harian Surya.


Kecenderungan ini menunjukkan dua fenomena:
 
·         Fenomena oligopoli pers di Indonesia, baik di kota maupun di daerah, dan

·         Fenomena pers daerah, yang lebih lokal lagi dari pada pers regional, dan yang muncul sejak era reformasi.



*****

Bab III : Perjalanan Pers di Indonesia

1945 - 2001





Perjalanan pers di Indonesia telah mengalami proses cukup panjang dan penuh liku. Sejarah pers di Indonesia tidak terlepas dari sejarah politik Indonesia, dan dapat dipecah menjadi beberapa periode.


1945 – 1973: Dari Pers Perjuangan ke Pers Partisan

Pada tahun 1945, ketika Proklamasi Kemerdekaaan dan kelahiran negara Republik Indonesia, telah ada industri pers yang memperjuangkan tujuan nasional. Peristiwa pembentukan Republik Indonesia juga melahirkan beberapa surat kabar yang baru, misalnya harian Merdeka yang didirikan pada tanggal 1 Oktober 1945, hanya 44 hari setelah Proklamasi Kemerdekaan[23]. Pada zaman tersebut, surat-surat kabar dan terbitan lain, cukup bebas di bawah administrasi transisional yang mengurus penyerahan kekuasaan dari pihak Belanda ke Rupublik Indonesia[24]. Pada tahun 1949, ketika Belanda mengakui kemerdekaan maupun keberadaan Republik Indonesia, ada 75 terbitan yang dapat disebut ‘pers’[25].

Pada awal kemerdekaan Indonesia, surat kabar tumbuh seperti ‘jamur di musim hujan’[26]. Selama dasawarsa 1950, jumlah media cetak terus-menerus bertambah karena dipergunakan oleh partai-partai politik sebagai corong ideologinya. Pada tahun 1955, ketika pemilihan umum yang pertama, jumlah media cetak sampai 457 terbitan, atau enam kali lipat jumlahnya dibanding tahun 1949, dengan jumlah tiras 3.457.910 eksemplar, atau delapan kali lipat jumlah tiras pada tahun 1949[27]. Tahun 1950an, pers Indonesia sangat ‘partisan’, atau berpihak, terutama karena ketergantungan dana dari partai-partai politik untuk kelangsungan hidupnya. Kalau jumlah terbitan pada tahun 1950an ditinjau, dapat dilihat bahwa ada peningkatan secara terus-menurus sampai 1955, yaitu tahun Pemilihan Umum, kemudian ada penurunan tajam, dan pada tahun 1959 jumlah terbitan adalah 324, atau hampir sama dengan jumlahnya pada tahun 1950[28].

Awal tahun 1960an, jumlah terbitan terus-menerus meningkat, khususnya dari tahun 1963 sampai dengan tahun 1966[29], sebagai cerminan keadaan politik yang semakin memanas. Pada dasawarsa itu, industri pers mengalami dua pembredelan, yang pertama pada tahun 1957 kemudian diikuti pada tahun 1966. Tahun 1965, Menteri Penerangan mengeluarkan Surat Keputusan yang mewajibkan penerbit untuk menggabungkan diri dengan sebuah partai politik, organisasi massa atau golongan. Kebiasaan itu muncul karena keperluan pers mencari dana. Akibat Surat Keputusan tersebut, pers lebih menjadi bersifat partisan.

Setelah Peristiwa G 30 S / PKI, 43 dari 163 surat kabar yang ada ditutup oleh pemerintah[30]. Pada tahun 1967, jumlah terbitan menurun sebanyak 132 terbitan dari tahun sebelumnya[31]. Kekuasaan pemerintah atas pers muncul lagi melalui pembentukan Undang-Undang No. 11 Tahun 1966 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pers. Menurut Pasal 20, selama ‘masa peralihan’, penerbit surat kabar wajib memperoleh baik Surat Izin Terbit (SIT) dari Departemen Penerangan maupun Surat Izin Cetak (SIC) dari Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib). Tanpa kedua surat izin tersebut, sebuah terbitan dianggap tidak ‘sah’ dan kalau satupun surat izinnya dicabut, terbitan itu dilarang terbit. ‘Masa Peralihan’ itu berlaku lebih dari 15 tahun, sampai tahun 1982[32]. 

Sejak tahun 1945 dan selama tahun 1950an serta tahun 1960an, pers di Indonesia merupakan sebuah medium wacana politik. Dengan dana dari partai-partai politik dan golongan lain, pers pada zaman tersebut bersifat sangat partisan dan berpihak. Akibatnya, landasan pers merupakan ideologi dengan ketergantungnya pada partai-partai politik. Masa tersebut juga mencerminkan kekuasaan pemerintah yang sangat tinggi terhadap pers maupun unsur-unsur kehidupan lain di negara Indonesia. Hal ini dapat dilihat dengan pembredelan pada tahun 1957 maupun tahun 1966, dan syarat SIT dan SIC untuk mendirikan surat kabar. Pers Perjuangan yang ada pada tahun 1945, yang menjadi Pers Partisan pada tahun 1950an, tidak bebas lagi hingga tahun 1960an.

1973 – 1990: Depolitisasi dan Komersialisasi Pers

Pada tahun 1973, Pemerintah Orde Baru mengeluarkan peraturan yang memaksa penggabungan partai-partai politik menjadi tiga partai, yaitu Golongan Karya (Golkar), Partai Demokrasi Indonesia (PDI) dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Peraturan tersebut menghentikan hubungan partai-partai politik dan organsisasi terhadap pers sehingga tidak lagi mendapat dana dari partai politik[33]. Oleh karena itu, pemimpin terbitan harus mencari dana dari periklanan. Untuk dapat menarik iklan, sebuah terbitan harus mempunyai landasan jumlah pembaca yang banyak.

Pada tahun 1974 dan tahun 1978, industri pers mengalami pembredelan lagi. Setelah kerusuhan ‘Malari’ pada bulan Januari 1974, 12 terbitan dilarang dan beberapa wartawan ditangkap dan puluhan lain didaftarhitamkan[34]. Pada 1978, tujuh harian yang terbit di Jakarta mengalami penutupan karena liputannya yang mendukung aksi demonstrasi mahasiswa terhadap pemerintahan Orde Baru[35].  Dengan pembredelan tersebut pemerintah Orde Baru mulai bersifat ‘tangan besi’ terhadap pers. Pemimpin-pemimpin pers mengakui bahwa untuk menjamin kelangsungan terbitannya, mereka harus mengalami proses penyesuaian diri dan ‘depolitisasi’, dalam arti menghilangkan unsur-unsur politik dalam berita yang dimuat, kecuali yang mendukung pemerintah Orde Baru dan kebijakannya. Dapat dilihat bahwa ‘depolitisasi’ tersebut merupakan akibat dari lepasnya pengaruh partai politik, maupun kekuasaan pemerintah.

Iklan merupakan salah satu upaya kebebasan pers Indonesia secara ekonomis. Akhirnya tahun 1970an pers di Indonesia mulai berubah bentuknya dari alat ideologis menjadi industri besar.

Pada tahun 1982, SIT yang dikeluarkan oleh Departemen Penerangan diganti dengan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP). SIUPP hampir sama dengan SIT, seperti perubahan hanya dalam sebutan saja. Namun bedanya SIUPP, lebih tegas lagi. Jika SIUPP sebuah terbitan dicabut oleh Departemen Penerangan, terbitan itu langsung ditutup oleh pemerintah.

Namun, sejak tahun 1970an pers telah mulai menjadi industri besar dan memperkerjakan banyak karyawan dalam setiap tahap produksinya. Di samping kepentingan-kepentingan itu, ada kekuasaan pemerintah dengan ancaman pencabutan SIT dan SIC kemudian SIUPP. Oleh karena itu, pers sangat mudah ditutup. Sebagai respons terhadap kelemahan tersebut, perusahan pers mulai melakukan diversifikasi baik di bidang pers sendiri maupun perusahaan di bidang-bidang lain. Jalan diversifikasi yang ditempuh oleh surat kabar besar di Jakarta adalah dengan mengambil alih surat kabar regional dengan memberi bantuan dana, serta pimpinan manajemen maupun redaksi. Akibat diversifikasi itu muncul grup-grup besar, atau konglomerat media, seperti Kompas - Gramedia Grup, Grafiti Pers Grup dan Sinar Kasih Grup.

Alasan-alasan upaya diversifikasi ke bidang media tersebut bukan hanya untuk meraih profit, tetapi juga sebagai perlindungan kepentingan. Kalau SIUPP surat kabar utama, misalnya Kompas, dicabut oleh pemerintah, ada SIUPP surat kabar regional yang dimiliki Kompas - Gramedia Grup, misalnya Surya, yang kuat secara keuangan maupun keredaksian, dapat menerima karyawan surat kabar yang ditutup, dan mengambil pasarnya. Pendek kata, kalau surat kabar utamanya ditutup, masih ada surat kabar lain.

Salah satu redaktur Jawa Pos menjelaskan[36]:
‘Jawa Pos’ dulu, ketika tahun 1980an, beritanya sangat idealis, dan tidak kompromi dengan pejabat atau birokrat. Tidak pernah ada berita di ‘Jawa Pos’ bahwa seorang pejabat berpidato, dan pidato itu dimuat di koran. Itu komit betul. Tetapi ketika ‘Jawa Pos’ sudah menjadi besar, ketika ada banyak orang yang bergantung kehidupannya pada media itu, akhirnya mulai berpikir, “Kalau ‘Jawa Pos’ ini ditutup, berapa ratus orang yang menghilang pekerjaan?”. Kalau melanggar sistem, pasti akan menghadapi itu. Itu pemikiran kita.

Waktu itu, ada mungkin sekitar 600 - 700 karyawan di ‘Jawa Pos’, tetapi kita tidak bisa membicarakan ‘berapa’, karena juga harus memikirkan agen dan pengecer. Mereka sudah berapa? Mereka sudah tergantung pada ‘Jawa Pos’. Itu yang kita pikirkan. Kemudian begini, kita tidak bisa beridealisme terus. Kalau ini ditutup, hancur kita. Artinya hancur, berapa orang akan kehilangan pekerjaan? Idealisme kita ini, bukan idealisme hanya untuk sesuatu. Bahwa kita memberikan satu lapangan pekerjaan, itu kan juga idealisme. Jadi kita berubah, jadi kita mulai berkompromi. Kompromi dengan birokrat, dan pemimpin kita juga masuk partai besar, yaitu Golkar. Tujuannya apa? Untuk menyelamatkan karyawan.

Terus kemudian jalan.  Pada waktu itu di Indonesia sangat sempit untuk media…ya kami tidak menentang kebijakan, tapi mewarnai kebijakan. Kritis tetap ada, tapi dibuat sesoft mungkin. Dengan bahasa Jawa, dengan bahasa-bahasa yang agak diperhalus. Jadi tidak meledak-ledak. Tidak menjadi panas hati. Kritiknya tetap ada, tapi lebih soft. Itu yang terjadi. Tetapi bukan berarti itu akan terjadi selamanya. Kita tidak punya rencana menjadi begitu. Rencana jangka panjang apa? Bahwa kita menguatkan sistem. Ya, akhirnya, di sanalah muncul bahwa ‘Jawa Pos’ perlu anak perusahaan.

Ya, diversifikasi. Maksudnya, kalau ‘Jawa Pos’ harus ditutup oleh pemerintah, anak perusahaan masih jalan. Dan karyawan ‘Jawa Pos’ tidak kehilangan pekerjaan. Dari sanalah, ‘Jawa Pos’ mulai ekspansi. Tapi sampai kapan ‘Jawa Pos’ akan menjadi seperti itu? Kita sudah berprediksi bahwa tahun 2000 ‘Jawa Pos’ akan menjadi ‘menara gading’. Akan menjadi corong betul-betul menentang pemerintah. Itu rencana kita tahun 2000. Kita sudah sering rapat-rapat bahwa sebentar lagi, kita akan melakukan perubahan besar, bahwa ‘Jawa Pos’ tidak lagi berkompromi dengan pemerintah. Kita berencana tahun 2000 akan dimulai. Rencananya begitu. Pada waktu itu semua anak perusahaan sudah dalam posisi yang kuat. Bisa mandiri.

Maksudnya begitu - setelah  tahun 2000, kita akan menjadi ‘menara gading’ tetapi….ternyata reformasi terjadi dan tidak usah lagi.   
    
Dari penjelasan di atas, dapat dilihat bahwa diversifikasi dilakukan demi keselamatan karyawan dan kepentingan perusahaan. Diversifikasi itu melahirkan pers regional di Indonesia yang kuat baik secara ekonomi maupun keredaksian.

Dalam masa itu, timbullah beberapa grup besar, yang paling besar Kompas - Gramedia Grup dan Grafiti Pers Grup, yang melahir Jawa Pos Grup. Pada tahun 1990an, di antara 13 dan 16 grup mempunyai duapertiga industri pers[37]. Pada tahun 1989, Kompas - Gramedia Grup mendirikan Bagian Pers Daerah, atau ‘Persda’[38]. Dari pendirian bidang itu, dapat dilihat bahwa ‘pers daerah’ dianggap sebagai potensi besar. 


1990 – 1997: Era Repolitisasi?

Telah dicatat oleh beberapa pengamat[39], bahwa pada tahun 1990an, pers di Indonesia mulai ‘repolitisasi’ lagi. Maksud istilah ‘repolitisasi’ itu, bahwa pada tahun 1990an sebelum gerakan reformasi dan jatuhnya Suharto, pers di Indonesia mulai menentang pemerintah dengan muat artikel-artikel yang kritis terhadap baik tokoh maupun kebijakan Orde Baru. Namun, dapat dilihat dari kesaksian redaktur Jawa Pos, bahwa meskipun ‘repolitisasi’ tersebut memang direncanakan oleh harian Jawa Pos, wujudnyatanya tidak sampai tahun 2000. ‘Repolitisasi’ memang direncanakan di harian Jawa Pos tetapi tidak terjadi secara jelas sebelum keruntuhan Suharto dan rezimnya.

Akan tetapi, ada beberapa peristiwa pada masa itu yang memberi kesan ‘repolitisasi’. Pada tahun 1994, tiga majalah mingguan ditutup, yaitu Tempo, DeTIK dan Editor. Penutupan terbitan-terbitan tersebut menunjukkan bahwa majalah-majalah itu melanggar peraturan pemerintah karena memuat kritik terhadapnya. Namun, pencabutan SIUPP dan penutupannya membuktikan bahwa Orde Baru masih lebih kuat.

Pada tahun 1996, salah satu wartawan Bernas, Fuad Muhammad Syafruddin, dibunuh di Yogyakarta, dan pelakunya diduga kaki tangan pemerintah[40]. Pada bulan-bulan sebelum pembunuhan tersebut, Faud sedang menyelidiki kasus korupsi di Kabupaten Bantul, Yogyakarta, dan menulis artikel mengenai kesimpulannya yang kemudian dimuat oleh Bernas. Penulisan dan pemuatan informasi tersebut menunjukkan bahwa pers mulai bertujuan politik lagi, atau mulai ‘repolitisasi’, seperti kasus penutupan Tempo, DeTIK dan Editor. Akan tetapi, pembunuhan Udin, demikian juga penutupan ketiga majalah tersebut, menunjukkan, untuk sementara, pihak pemerintah lebih kuat dari pada pihak pers dan informasi bebas.

Dapat dilihat bahwa pada tahun 1990 – 1997, yaitu tahun-tahun sebelum reformasi, pers Indonesia tetap mengikuti tujuan-tujuan komersial dan diversifikasi. Masa 1990an merupakan waktu bagi grup-grup besar menguatkan posisinya. Ada beberapa terbitan yang memuat artikel politik, dalam arti menentang baik kebijakan maupun tokoh pemerintah seperti Bernas, Tempo, DeTIK dan Editor. Tetapi, ‘repolitisasi’ ini terbatas ke beberapa terbitan saja, dan belum menyentuh industri pers di Indonesia secara utuh.


1997: Pengaruh Krismon

Kejadian Krisis Moneter (Krismon) melanda ekonomi Indonesia pada bulan Juli 1997. Demikian pula industri pers tidak terlepas dari dampak Krismon. Akan tetapi, bagi industri pers ada dampak positif maupun negatif.

Dampak yang negatif adalah ancaman terhadap stabilitas ekonomi pers, khususnya harga kertas koran yang membubung tinggi. Wartawan dan karyawan-karyawan lain yang dipekerjakan oleh perusahaan pers juga mengalami kesulitan, misalnya potong gaji atau diberhentikan. Sebagai tanggapan terhadap krismon, kebanyakan surat kabar mengurangi jumlah halaman, misalnya Jawa Pos mengurangi jumlah halamannya dari 28 halaman menjadi 16 halaman serta memperkecil ukurannya dari sembilan kolom menjadi tujuh kolom[41]. Seluruh surat kabar yang terbit di Surabaya, baik yang kecil maupun yang beroplah besar, mengurangi jumlah halamannya dan beberapa surat kabar juga mengurangi masa terbitnya. Misalnya surat kabar Karya Darma yang sebelum Krismon terbit enam edisi seminggu, dikurangi hanya terbit lima edisi seminggu[42].

Namun, pengaruh negatif tersebut berkurang dengan suasana demokratis dan tuntutan berita serta informasi. Dengan kejadian Krismon, industri pers di Indonesia tidak kehilangan mata uangnya, yaitu peristiwa dan berita.


1998: Reformasi dan Kebebasan Pers

Gerakan reformasi yang menyebabkan jatuhnya Presiden Suharto dan rezim Orde Barunya, juga memberikan semangat kebangkitan kepada pers di Indonesia. Seperti ungkapan salah satu wartawan di Malang, reformasi dan kebebasan pers digambarkan seperti “sebuah pesta”.

Era reformasi ditandai dengan terbukanya kran kebebasan informasi. Di dunia pers, kebebasan itu ditunjukkan dengan dipermudahnya pengurusan SIUPP[43]. Sebelum tahun 1998 proses perolehan SIUPP melibatkan 16 tahap, tetapi dengan instalasi Kabinet BJ Habibie, dikurangi menjadi tiga tahap. Di samping itu pada bulan September 1999, pemerintahan BJ Habibie mensahkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers, menggantikan UU RI No. 11 1966, UU RI No. 4 1967 dan UU No. 21 1982, yang diakui “sudah tidak sesuai dengan perkembangan zaman”[44]. 

Pengakuan ketidaksesuaian dalam perundang-undangan Republik Indonesia tersebut, merupakan sejenis kemenangan untuk pers Indonesia. UU RI No. 40 1999, antara lain, menjamin kebebasan pers serta mengakui dan menjamin hak memperoleh informasi dan kemerdekaan mengungkapkan pikiran dan pendapat sesuai dengan hati nurani sebagai hak manusia yang paling hakiki. Pasal 2 menyebutkan “kemerdekaan pers adalah salah satu wujud kedaulatan rakyat yang berasaskan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan dan supremasi hukum”. UU RI No. 40 1999 tersebut juga memberikan kebebasan kepada wartawan untuk memilih organisasi wartawan sekaligus menjamin keberadaan Dewan Pers.

Longgarnya proses mendapatkan SIUPP, hampir 1000 SIUPP yang baru telah disetejui oleh Menteri Informasi dalam jangka waktu dari bulan Juni 1998 sampai Desember 2000[45]. Lagi pula, angka tersebut tidak termasuk sekitar 250 SIUPP yang telah diterbitkan sebelum reformasi. Sebagian besar dari meledaknya terbitan itu merupakan tabloid mingguan yang berorientasi politik yang dimiliki dan didukung oleh konglomerat media, misalnya Bangkit (Kompas – Gramedia Grup) dan Oposisi (Jawa Pos Grup). Dengan menjamurnya terbitan tersebut, tidak perlu lagi mengartikan ungkapan yang tersembunyi atau ‘read between the lines’ seperti ketika Orde Baru. Namun, sekarang yang diperlukan adalah sikap skeptis dalam memperoleh informasi berita sehingga media dapat menghasilkan berita yang dipercaya, bukan hanya sekedar bersifat sensasional saja[46].
    
Tahun ketiga yang sejak jatuhnya Suharto dan perggantian rezimnya, muncul kencendurangan baru dalam pers di Indonesia, yaitu ‘lokalisasi’. Proses itu melibatkan banyak terbitan yang muncul di daerah-daerah untuk melayani informasi warga di daerah itu. Fenomena lokalisasi pers dan permunculan pers daerah akan dibahas lebih terinci dalam bab berikutnya.


Ringkasan

Dari pembahasan di atas, dapat dilihat bahwa pers di Indonesia telah mengalami beberapa perubahan identitas. Pers di Indonesia dimulai sebagai pers perjuangan yang bertujuan nasionalis. Kemudian pada tahun 1950an dan tahun 1960an menjadi pers partisan yang mempunyai tujuan sama dengan partai-partai politik yang mendanainya. Tahun 1970an dan tahun 1980an menjadi periode pers komersial, dengan pencarian dana masyarakat serta jumlah pembaca yang tinggi. Proses komersialisasi tersebut ditambah dengan diversifikasi yang diikuti beberapa surat kabar sebagai salah satu upaya melindungi kepentingannya yang semakin besar. Kemudian dapat dilihat munculnya konglomerat media maupun pers regional yang kuat baik secara keuangan dan keredaksian. Pada awal tahun 1990an, sebagai awal pers mulai proses repolitisasi, tetapi pada tahun 1997 industri pers mengalami beberapa kesulitan keuangan yang disebabkan krismon. Namun, krismon tidak dapat menghancurkan pers secara utuh, dan akhirnya pers bebas muncul di bawah kebijakan pemerintahan BJ Habibie. 

Keberadaan pers regional yang kuat dapat dilihat sebagai salah satu akibat dari proses diversifikasi. Era reformasi, yaitu sejak bulan Mei 1998, ditandai dengan munculnya pers daerah yang lebih dekat dengan daerahnya dibandingkan dengan pers regional. Pers daerah tersebut masih merupakan bagian diversifikasi oleh grup-grup besar, tetapi bukan sebagai alat melindungi kepentingannya, melainkan sebagai upaya meraih pasar, yang saat ini cenderung lebih tertarik dengan informasi daerahnya sendiri. Fenomena munculnya pers daerah, seperti yang ada di daerah Malang, menunjukkan bahwa pers Indonesia mulai mengalami proses perubahan lagi, yaitu proses lokalisasi.



*****

Bab IV : Fenomena Pers Daerah dan Masa Depan





“Koran-koran lokal akan berkembang di daerahnya sendiri. Itu yang sekarang trendy di Indonesia. Hampir semua ‘Radar’ sehat, semuanya mendapat tanggapan positif dari masyarakat. Dan itu menunjukkan bahwa era koran daerah sekarang  sedang mulai berkembang... Trendnya sudah bagus.”
-          Redaktur Jawa Pos
23/9/01


Kalau pers regional muncul dan berkembang pada tahun 1980an sebagai salah satu akibat diversifikasi dalam bidang pers, yang muncul pada masa kini, masa sejak reformasi, adalah fenomena pers daerah. Pers daerah lebih lokal lagi dari pada pers regional, dan biasanya terkait dengan Kabupaten, atau Daerah Tingkat II. Pers daerah berbeda dengan pers regional karena terbit di daerah tertentu itu, dan memang sukar dibeli di luar daerah itu, kecuali berlangganan.

Walaupun pada tahun 1990an, pers regional telah mulai berkembang, kebanyakan pers Indonesia terkonsentrasi di ibukota Jakarta. Pada tahun 1995 jumlah media cetak di Indonesia sebanyak 292 media. Dari 292 media itu, 143, atau 49%, diterbit di Jakarta. Pada tahun 1996, jumlah media cetak di Indonesia menurun menjadi 283 media, tetapi yang dari Jakarta masih 139 media, atau tetap 49% dari jumlah media cetak[47]. Kalau dikatakan lebih jelas, pada tahun 1990an awal, fenomena pers Indonesia adalah fenomena pers Jakarta[48]. Walaupun belum ada angka-angka resmi untuk tahun berikutnya, dapat diasumsi bahwa ‘fenomena pers Jakarta’ tersebut, mulai berubah menjadi ‘fenomena pers daerah’ lewat proses lokalisasi pers di Indonesia.

Asumsi ini berdasarkan pada pertumbuhan jumlah media cetak di daerah seperti Malang, salah satu daerah yang pada tahun 1995 sama sekali tidak ada surat kabar lokal, dan sekarang muncul tiga surat kabar daerah. Kalau melihat daerah-daerah lain, asumsi fenomena pers daerah menjadi lebih kuat. Misalnya, pada tahun 1995 dan 1996 hanya ada dua media cetak di propinsi Irian Jaya (Papua Barat), yaitu Cenderawasih Pos dan Tifa Irian[49]. Pada tahun 2001, tercatat ada 14 media lokal di Papua Barat. Ada enam harian lokal, yakni, Cenderawasih Pos dan Papua Pos (di Jayapura), Timika Pos dan Radar Timika (di Timika) serta Radar Sorong dan Fajar Papua (di Sorong). Juga ada delapan mingguan lokal, yaitu Tifa Papua dan Jubi (di Jayapura), Suara Papua (di Sorong), Nabire Pos dan Amanat Suara Gunung (di Nabire), Pikiran Merdeka (di Biak), Seraui Pos (di Seraui, Yapen Waropen) serta Hinggin Pos (di Fakfak)[50]. Sepuluh dari 12 media lokal baru itu dibuka di luar ibukota propinsi Jayapura. Selanjutnya, di propinsi Sumatera Barat, ada delapan media lokal yang terbit sejak September 1998[51]. Dari pertumbuhan pers di daerah-daerah tersebut, dapat dilihat bahwa meskipun ‘fenomena pers Jakarta’ barangkali masih kuat karena Jakarta memang merupakan medan perang yang paling dicari oleh para pemilik media, proses lokalisasi pers justru telah mulai menonjol. Proses ini melahirkan ‘fenomena pers daerah’.

Masa kini merupakan masa otonomi daerah yang menyerahkan kekuasaan pemerintah lebih banyak ke daerah. Dengan demikian, mau tidak mau, kepentingan daerah-daerah di Indonesia meningkat, dan sebagai konsekuensinya, warga lebih tertarik akan peristiwa dan isu-isu yang terjadi di daerahnya sendiri. Fokus lokal yang baru ini dapat dilihat sebagai tenaga pendorong di bawah keberadaan pers daerah.

Fenomena pers daerah tersebut telah terjadi di daerah Malang. Dari informasi-informasi yang disajikan dalam Bab I, dapat dilihat bahwa pada tahun 2001 terdapat tiga surat kabar yang dapat dianggap sebagai  surat kabar atau koran daerah, yaitu Malang Post, Memo Arema dan Radar Malang. Lagi pula, ketiga surat kabar tersebut semuanya dimiliki oleh Jawa Pos Grup. Dari gambaran tersebut, dapat dilihat bahwa diversifikasi bukan lagi merupakan upaya untuk melindungi kepentingan kelompok besar. Sekarang diversifikasi merupakan salah satu upaya untuk menangkap dan menguasai semua tingkat pasar, yang lebih tertarik dengan isu yang terjadi di daerahnya sendiri.

Supaya mendapat gambaran yang lebih lengkap mengenai fenomena pers daerah di Indonesia, khususnya di daerah Malang, Jawa Pos Grup, yang menguasai semua pers lokal di Malang, perlu ditinjau:


Jawa Pos Grup


“Yang mengawali pers daerah memang Jawa Pos.”
- Wartawan Malang Post
9/11/01

Diakui atau tidak, Jawa Pos Grup telah menjadi pemain utama dalam perkembangan pers daerah, khususnya di Malang, di mana semua surat kabar lokal dimiliki Jawa Pos Grup. Seperti yang telah tercatat dalam Bab I, Harian Jawa Pos diambil alih oleh Grafiti Pers Grup pada tahun 1982. Pada tahun 1987, Dahlan Iskan, pemimpin Jawa Pos, mulai memperoleh saham besar dalam surat kabar regional yang kecil dan membangkitkannya. Dengan pelarangan mingguan Tempo pada tahun 1994, Jawa Pos terpecah dari Grafiti Pers Grup, dan mulai mandiri di bawah kepimpinan Dahlan Iskan.   

Pada tahun 1997, Jawa Pos Grup menguasai 29 terbitan termasuk 20 harian serta lima tabloid mingguan dan empat majalah[52]. Pada tahun 1999, jumlah ini bertambah 20 terbitan kemudian jumlahnya terus meningkat 49 terbitan. Sebanyak 17 dari 20 terbitan baru itu, didirikan sejak reformasi[53]. Menurut situsnya, pada tahun 2001, Jawa Pos Grup memiliki 59 terbitan selain surat kabar Jawa Pos yang sekarang ada 24 Radar, seperti Radar Malang. Dengan demikian, jumlah total terbitan Jawa Pos Grup sekarang sebanyak 84 terbitan.

Dahlan Iskan yang terpilih sebagai ‘Entreprenaur of the Year 2001’[54], bertujuan mendorong salah satu tujuan dasar dari gerakan reformasi, yaitu pemberdayaan propinsi. Dengan suara daerah yang memperjuangkan pemerintahan lokal terhadap sumber daya alam dan perencanaan pembangunan, surat kabar di bawah payung Jawa Pos berusaha menjadi corong lokal[55]. Menurut Dahlan Iskan, proses desentralisasi, atau otonomi, pasti akan terjadi di Indonesia dan kemudian surat kabar daerah akan memperkuatkan dirinya dan mengganti kepentingan surat kabar Jakarta[56].

Pertumbuhan cepat Jawa Pos Grup memang didorong oleh surat kabar regional dan surat kabar daerah yang dimilikannya, baik dengan mendirikan media atau membeli dari penerbit lain. Dalam Jawa Pos Grup ada strategi untuk tidak berkonsentrasi pada pasar Jakarta, tetapi pasar di daerah. Dahkan Iskan berkata, “Dengan banyak koran, kami bisa masuk ke semua tingkat pasaran”[57].

Jawa Pos Grup mendirikan surat kabar di propinsi dan daerah yang tidak terdapat surat kabar lokal saat itu, misalnya daerah Malang[58], dan yang belum pernah mempunyai surat kabar, misalnya propinsi Sulawesi Tengah maupun Sulawesi Tenggara[59]. Pada tahun 2001, Jawa Pos Grup menguasai pasar beberapa daerah secara total, termasuk Malang, di mana ketiga surat kabar lokal semuanya dimiliki Jawa Pos Grup dan dua dari lima surat kabar regional dan nasional juga dimilikinya, yaitu Jawa Pos dan Radar Surabaya. Selanjutnya, harian Jawa Pos merupakan surat kabar utama di Malang dengan tiras sekitar 36.000 eksemplar per edisi.


Masa Depan


“Kalau saya melihat pers daerah ke depan, tetap dibutuhkan. Justru akan menjamur. Sangat diperlukan.”


“Saya kira nanti perkembangan pers daerah justru akan menjadi penopang yang kokoh terhadap perkembangan pers.”
-           
-          Wartawan-Wartawan Malang Post
8/11/01 dan 9/11/01

Fenomena pers daerah yang timbul sejak reformasi, sangat stabil secara keredaksian, keuangan maupun secara manajemen karena di bawah kepemilikan grup-grup besar. Bantuan tersebut, ditambahi dengan isu-isu lain, termasuk otonomi daerah dan teknologi baru, menjamin keberadaan pers daerah dalam jangka pendek. Namun masih ada ancaman yang akan terhadapinya di masa depan.

 

Ø  Tenaga Pendorong


Kepala Hubungan Masyarakat, Pemerintah Kota Malang menjelaskan, “Dalam era otonomi daerah ini, pers lokal memang lebih penting dari pada dulu”[60]. Kenyataan ini berkembang dalam industri pers daerah di Malang yang menilai otonomi daerah sebagai isu terpenting bagi perkembangan pers daerah di masa depan. Otonomi daerah merupakan kebijakan yang menyerahkan kekuasaan pemerintah dari pusat ke daerah, baik pihak legislatif maupun eksekutif. Penyerahan kewenangan tersebut berarti bahwa status daerah-daerah ditingkatkan, sekaligus dapat merumuskan kebijakannya sendiri. Dengan demikian, perhatian terhadap daerah jauh lebih luas jika dibandingkan dengan masa Orde Baru, di mana status pusat, yaitu ibukota Jakarta, sangat penting.

Dengan penyerahan kewenangan ke daerah, antara lain juga diikuti dengan penyerahan dana yang tidak pernah dialami pada zaman Suharto. Masyarakat daerah pasti ingin tahu bagaimana dana itu akan digunakan. Yang berkembang adalah minat baru dari masyarakat terhadap daerahnya sendiri yang menyebabkan suasana kondusif untuk pers daerah. Asal kebijakan otonomi daerah tetap dilanjutkan di masa depan, pers daerah akan tumbuh secara terus-menerus.

Karyawan yang dipekerjakan dalam pers daerah juga mengakui perannya di masa otonomi daerah. Baik wartawan maupun redaktur sekaligus karyawan sirkulasi serta periklanan mengakui bahwa dengan kebijakan otonomi daerah tersebut mereka dapat memperdayakan masyarakat di daerah melalui media lokal. Mereka menyadari bahwa ada perhatian baru terhadap isu-isu lokal, dan sebagai karyawan pers daerah yang mempunyai pengetahuan lokal, mereka mengetahui keadaan unik daerahnya untuk diberitakan. Pada masa lalu, isu-isu lokal tidak diaktualisasikan secara baik karena tidak ada media yang dapat menyoroti daerah secara tajam, atau melihat secara rinci di lapangan. Lagi pula, surat kabar besar seperti Kompas atau Jawa Pos harus lebih fokus pada berita nasional dari pada berita daerah. Namun, saat ini isu-isu lokal dapat dimuat oleh media daerah seperti Malang Post, Memo Arema atau Radar Malang.

Beberapa wartawan dan redaktur yang bekerja dalam pers daerah di Malang mengeluarkan pendapat bahwa keperluan masyarakat untuk memperoleh informasi nasional atau internasional dapat dipenuhi oleh berita di televisi atau radio. Namun, keperluan masyarakat untuk mendapat informasi lokal mengenai daerahnya sendiri, diperoleh dari pers daerah. Dalam rangka ini, teknologi dapat dilihat sebagai pembantu perkembangan pers daerah pada masa depan, karena media nasional, terutama televisi, belum mengalami proses lokalisasi. Saluran-saluran televisi masih melayani masyarakat Indonesia, bukan masyarakat daerah. Dengan demikian pendekatannya dalam kaitan penyampaian berita, lebih bersifat ‘nasional’ atau lebih ‘regional’, dari pada ‘lokal’.

Dahulu, pers regional memiliki dua manfaat yang tidak dimiliki pers nasional. Yang pertama, isinya lokal yang tidak termasuk pada skala nasional, dan yang kedua, surat kabar nasional kalah dengan surat kabar lokal, terutama pendistribusian ke agen-agen untuk dipasarakan[61]. Pers regional dapat dijual di pasar dari pagi, sementara surat kabar nasional, yang harus dikirim dari kota-kota besar, paling cepat, mulai dijual pada siang hari. Teknologi digital baru, termasuk pemakaian modem dan pergunaan sistem cetak jarak jauh merupakan ancaman terhadap manfaat tersebut. Teknologi baru ini memperbolehkan surat kabar nasional mencetak ‘edisi lokal’ sekaligus menyingkirkan kelambatan waktu transportasi dari pusat ke wilayah perbatasan nasional[62]. 

Menurut teori, keadaan ini betul, namun dalam kenyataan belum terjadi. Misalnya surat kabar terbesar di Indonesia, yaitu Kompas, tidak mencetak ‘edisi lokal’ di daerah Malang atau daerah-daerah lain. Di propinsi Jawa Timur, Kompas memiliki suplemen “Jawa Timur”, tetapi hanya terdiri dari empat halaman dan sama sekali tidak dapat dianggap sebagai ‘edisi lokal’. Dari pada menerbitkan ‘edisi lokal’, yang terjadi adalah Kompas mengambil alih surat kabar regional seperti Surya yang memiliki biro di Malang dan memuat peliputan Malang. Demikian juga Jawa Pos yang mempunyai suplemen ‘Radar’ di kebanyakaan daerah di Indonesia sekaligus memiliki banyak surat kabar lokal, seperti Malang Post. Dengan demikian, teknologi baru sebenarnya dapat dilihat sebagai tenaga pendorong, yang dapat membantu perkembangan pers daerah. Melalui penggunaan modem, penerbitan lokal dapat memperoleh berita nasional/internasional yang kemudian dimuatnya. Di Malang, baik Memo Arema maupun Malang Post ada satu halaman untuk berita nasional maupun internasional, tetapi tetap memuat 60% – 70% berita lokal.

Perkembangan internet lima tahun terakhir ini, tidak dapat dilihat sebagai suatu ancaman terhadap pers lokal. Beberapa wartawan di Malang menyatakan bahwa awalnya, mereka takut terhadap internet. Kemudian mereka menyadari, terutama di Indonesia, hal itu belum merupakan ancaman karena belum semua keluarga mempunyai sambungan internet. Bahkan tidak semua keluarga mempunyai komputer. Saat ini, internet justru membantu memperoleh berita nasional dan internasional untuk dimuat di media lokal dibandingkan sebagai ancaman perkembangan pers daerah.


Ø  Ancaman


Wartawan
Ketika salah satu wartawan di Malang ditanya mengenai halangan terbesar bagi pers daerah di masa depan, dia menjawab, “Wartawannya sendiri,”[63].

Keberatan terbesar bagi wartawan yang bekerja di bidang pers daerah adalah gaji yang rendah. Keluhan rendahnya gaji sering menjadi topik pembicaraan dalam diskusi wartawan media lokal di daerah Malang. Keluhan tersebut juga dilakukan oleh wartawan di daerah lain, baik sebelum maupun setelah reformasi[64]. Di salah satu surat kabar daerah di Malang, tidak ada wartawan yang menerima gaji lebih dari Rp 650.000 per bulan (belum masuk pemberian uang transportasi dan makan), dan gaji untuk wartawan magang hanya Rp 150.000 per bulan. Lagi pula, wartawan magang di harian itu, tidak menerima uang transportasi atau uang makan.

Kesejahteraan wartawan justru dapat mengancamkan industri pers. Dengan jam kerja yang panjang dan gaji yang rendah, khususnya bagi industri pers daerah di mana gaji wartawan lebih rendah dari pada wartawan yang bekerja di surat kabar besar. Keadaan tersebut dapat mempengaruhi obyektivitas wartawan yang sangat penting untuk kelangsungan industri pers seutuhnya.

Isu-isu penting lain menyangkut profesionalisme wartawan, terkait dengan ‘budaya amplop’. Yang dimaksud dengan istilah ‘amplop’ itu adalah uang yang ditawarkan kepada wartawan (yang dimasukkan ke dalam sebuah amplop) oleh nara-nara sumber, yang dapat berupa individu, lembaga atau perusahaan. Alasan pemberian uang kepada wartawan tidak sedemikian jelas. Bisa jadi itu menentukan apakah sebuah artikel akan dimuat atau tidak, tetapi sebenarya hal itu bukan kewenangan wartawan tetapi merupakan tugas redaktur. Dengan demikian, kalau sebuah ‘amplop’ diberikan untuk menjamin muatnya berita, seharusnya diberikan bukan kepada wartawan tetapi kepada redakturnya. Ada pula, wartawan-wartawan di Malang mengatakan bahwa pemberian ‘amplop’ tidak mewarnai tulisannya, dan jika mereka ingin mengkritik nara sumber, pemberian ‘amplop’ tidak mempengaruhinya. Salah satu wartawan di Malang bilang bahwa dia tidak suka diberi ‘amplop’ karena membuat dia merasa seperti ‘preman’[65].

Budaya amplop melahirkan permasalahan baru, yaitu ‘wartawan bodrek’ yang sebenarnya bukan wartawan tetapi berperan sebagai wartawan supaya dapat ‘amplop’ dari nara sumber[66]. Selain mengancam profesionalisme wartawan, ‘wartawan bodrek’ maupun kebudayaan ‘amplop’ justru berpengaruh buruk bagi industri pers seutuhnya, karena menganjurkan kecurigaan terhadap pers dari masyarakat. Salah satu wartawan di Malang mengatakan, “Masyarakat terpaksa bertanya – Apakah orang ini benar-benar wartawan?. Wartawan Bodrek membuat kita semua akhirnya dicap seperti itu. Kita datang ke sana, sebetulnya kita ingin mencari berita, tetapi dikira mau minta uang dari dia”[67].

‘Wartawan bodrek’ maupun budaya ‘amplop’ dapat menciptakan citra buruk bagi industri pers, termasuk pers daerah. Potensi ancamannya ditunjukkan dalam pesan yang dimuat oleh beberapa surat kabar seperti Kompas, Jawa Pos, Malang Post, dan Surya bahwa wartawannya, “dilarang menerima uang maupun barang dari sumber berita”, dan, “dibekali dengan kartu pers yang selalu dikenakan selama bertugas”. Namun, pemuatan pesan tersebut tidak menawarkan pemecahan masalah kesejahteraan wartawan yang sedemikian rendah.


“Sekarang yang jadi masalah adalah bagaimana menciptakan pers daerah yang benar-benar bisa dipercayai masyarakat. Itu yang paling penting. Bagaimana melibatkan semua elemen yang ada di masyarakat, semua potensi. Karena kalau tidak, walaupun ada pers daerah, jika tidak mengena dengan keinginan masyarakat, pers daerah itu tidak bisa bertahan lama.”
-          Wartawan Malang Post
8/11/01

Yang berpotensi menjadi ancaman bagi pers daerah adalah pihak masyarakat dalam rangka baik sebagai pembaca maupun sebagai nara sumber. Beberapa wartawan di Malang menegaskan kekhawatirannya bahwa masyarakat belum menghargai media lokal sebagai media promosi, media informasi atau media komunikasi. Salah satu wartawan di pos ‘Ekonomi dan Bisnis’ di Malang menceritakan dalam satu hari dia dapat ditolak lebih dari lima kali, walaupun dia hanya mencari orang yang akan dijadikan berita profile dan bukan informasi mengenai perusahaannya. Kecurigaan pihak masyarakat barangkali adalah sisa dari budaya Orde Baru, atau merupakan respons terhadap begitu banyak media yang muncul di era reformasi, termasuk munculnya ‘wartawan bodrek’.

Sebaliknya, ada banyak pihak masyarakat, khususnya dari pihak pemerintah, misalnya pemerintah kota dan kepolisian, bekerja sama dengan wartawan yang tidak mungkin dilakukan pada masa Orde Baru. Pihak pemerintah tingkat daerah mengakui, “Apa yang terjadi - masyarakat harus tahu. Semuanya harus transparan”[68]. Keperluan untuk tranparansi itu akan mendorong pers daerah ke masa depan karena tidak dapat dipenuhi pada tingkat daerah untuk setiap kabupaten oleh media nasional atau media regional. Inilah kesempatan untuk pers daerah tumbuh dan berkembang.

Ringkasan

Fenomena pers daerah muncul dan berkembang di Indonesia, dan Malang dapat dianggap sebagai salah satu daerah yang mewakili fenomena tersebut. Saat ini, walaupun keberadaan surat kabar nasional tetap penting, ada kecenderungan mereka mulai menempatkan atau mendirikan surat kabar di daerah, sehingga tidak lagi berkonsentrasi di ibukota saja.

Meskipun fenomena pers daerah mulai berkembang, kebanyakan bukan independen, tetapi dimiliki konglomerat media. Jawa Pos Grup sangat aktif dalam peran ini, khususnya di Jawa Timur, dan membuka surat kabar di daerah-daerah yang belum pernah ada surat kabar lokalnya. Di daerah lain, misalnya Malang dan daerah-daerah di Papua Barat, Jawa Pos Grup tidak hanya memiliki satu surat kabar lokal, tetapi justru menguasai industri pers di daerah itu sekaligus semua tingkat pasar.

Isu-isu seperti otonomi daerah dan teknologi baru mendorong pers daerah ke depan dengan tumbuh suburnya media lokal. Kenyataan bahwa semua surat kabar lokal di Malang dianggap ‘sehat’ secara ekonomi berarti bahwa masa depannya penuh harapan, ditambah keberadaan media lokal disambut baik oleh masyarakat daerah.

Akan tetapi, perkembangan pers daerah di masa depan bukan berarti lepas dari ancaman. Ancaman terhadap pers daerah terletak pada wartawannya sendiri dengan tingkat kesejahteraan yang rendah bagi orang profesional. Kerendahan tersebut dapat mewarnai obyektifitas mereka yang merupakan kunci sebuah pers daerah sehingga dapat dipercaya oleh masyarakat.

Tantangan bagi pers daerah adalah mencari penyelesaian untuk menangani dan mengatasi segala ancaman. Kalau itu dapat dilakukan, pers daerah tidak disebut ‘fenomena’ sementara lagi, tetapi menjadi unsur kehidupan sehari-hari di Indonesia yang dapat berlangsung lama.



*****

Bab V : Penutup





Industri pers di Malang sangat hidup dengan keberadaan tiga surat kabar lokal yang semuanya ‘sehat’ secara keuangan, serta lima surat kabar regional maupun nasional yang mempunyai biro dan diredar di Malang. Dari penjajakan wajah pers Malang, dua kecenderungan muncul, yaitu, fenomena pers daerah yang ada sejak era reformasi, dan oligopoli pers daerah maupun pers regional oleh grup-grup besar.

Fenomena pers daerah mencerminkan proses lokalisasi yang sedang dialami oleh pers Indonesia dalam era reformasi ini. Fenomena tersebut merupakan tahap baru dalam identitas pers Indonesia yang terus-menerus berubah. Sejarah pers Indonesia ini memunculkan mulanya grup-grup besar sebagai akibat komersialisasi pers pada tahun 1970an. Grup-grup ini menguati posisinya dengan diversifikasi pada tahun 1980an, yang melahirkan pers regional yang kuat secara ekonomi, keredaksian maupun pengelolaan. Grup-grup tersebut juga membawahi surat kabar lokal yang ada sejak era reformasi dan saat ini menjadi pers daerah. Pers daerah lebih lokal dari pada pers regional, dan kedua istilah ini tidak dapat ditukar.

Dari penelusuran perkembangan pers Indonesia, dapat dilihat keterlibatan pemerintah. Pers Indonesia tidak dapat dipisahkan dari kondisi politik. Pada Orde Baru, isu terpenting bagi pers Indonesia adalah pengaruh maupun ‘ketanganbesian’ pemerintah yang dapat mebredel sebuah terbitan dengan mencabut SIUPPnya tanpa alasan. Ancaman tersebut mendorong diversifikasi grup-grup besar yang kemudian mengembangkan pers regional. Eforia jatuhnya Suharto dan rezimnya serta kebebasan pers yang disebabkan reformasi menjadi pendorong awal bagi pers daerah. Akan tetapi, isu yang terpenting bagi pers daerah di masa depan adalah kebijakaan pemerintah, yaitu otonomi dearah. Isu tersebut mendorong masyarakat daerah menjadi lebih tertarik dangan daerahnya sendiri, dan membuka kesempatan untuk berkembangnya media lokal. Dengan demikian, dapat dilihat bahwa Pemerintah Indonesia sangat mempengaruhi perkembangan bentuk pers secara terus-menurus. Di masa reformasi dan keterbukaan informasi ini, barangkali yang akan muncul adalah pers yang dapat mempengaruhi bentuk pemerintah.

Wajah pers Malang mewakili tubuh pers Indonesia. Hali ini disebabkan faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan pers Indonesia tercakup di dalamnya.


*****

Daftar Pustaka




Hill, David T., The Press in New Order Indonesia, University of Western Australia Press / Asia Research Centre on Social, Political and Economic Change, Perth , 1994


Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia (PPPI), Media Scene 1998/1999: The Official Guide to Advertising Media in Indonesia, PPPI, Jakarta, 1999


Sen, Krishna dan David T. Hill, Media, Culture and Politics in Indonesia, Oxford University Press, Melbourne, 2000


Suroso, Menuju Pers Demokratis: Kritik atas Profesionalisme Wartawan, Lembaga Studi dan Inovasi Pendidikan, Yogyakarta, 2001




Afa, ‘Dua Koran di Jatim Tunda Terbit’, Republika, 8 Februari 1998, http://basisdata.esosoft.net/1998/02/08/0100.html


Amnesty International, ‘Death of a Journalist’, Inside Indonesia, No. 52, October – Decmber 2001, http://insideindonesia.org/edit52/amnesty.htm


Cohen, Margaret, ‘Fastest Gun in the East’, Far Eastern Economic Review, 25 Maret 1999, http://basisdata.esosoft.net/1999/03/24/0157.html


Djuroto, ‘Profil Wartawan Jawa Timur: Studi Tentang Kehidupan Wartawan’, Jurnal Penelitian Media Massa, Vol. 2, No. 3, Juli 1998, Balai Penelitian Pers dan Pendapat Umum Surabaya, Departemen Penerangan Republik Indonesia, hal. 43 - 67


Haryanto, Ignatius, ‘Demografi Pers Indonesia Hari Ini’, Kompas Online, 23 Agustus 1997, http://basisdata.esosoft.net/1997/08/23/0032.html


Kholifan, Mohammad, ‘Kepakan Cenderawasih’, Pantau, Oktober 2001, hal. 24 - 27


Mudjiyanto, Bambang, ‘Kebebasan Pers Nasional Pasca Orde Baru’, Jurnal Penelitian Media Massa, Vol. 2, No. 5, 1999, Balai Penelitian Pers dan Pendapat Umum Surabaya, Departemen Penerangan Republik Indonesia, hal. 39 - 53




Olle, John, ‘Sex, Money, Power’, Inside Indonesia, No. 61, January – March 2000, www.insideindonesia.org/edit60/jolle1.htm


Riyanto, Agus S. dan Wahyu Dhyatmika, ‘Carilah Jawa Pos Sampai ke Negeri Cina’, Tempo, 23 September 2001, hal. 52 – 53


Romano, Angela, ‘I always throw the envelope away’, Inside Indonesia, No. 54, April – June 1998, http://insideindonesia.org/edit54/angela.htm



Situs:


Kompas                       http://www.kompas.com







Lampiran


 

Lampiran A: Tabel Surat Kabar Daerah di Malang




Surat Kabar


Jenis

Tiras

Tahun Pendirian

Kepemilikan

Jumlah Karyawan

Jumlah Redaksi

Malang Post


Harian Pagi
12 halaman


4.000 – 5.000

1998

Jawa Pos Grup

60

24

Memo Arema


‘Edisi Lokal’ Memorandum
12 halaman

5.000 – 6.000

1999

Jawa Pos Grup

26

10

Radar Malang


Suplemen dalam
Jawa Pos
8 halaman

36.000

1999

Jawa Pos Grup

18

10







 

Lampiran B: Tabel Surat Kabar Regional dan Surat Kabar Nasional di Malang




Surat Kabar



Jenis


Jumlah Tirasnya

Jumlah Tiras di Malang

Tahun Pendirian

Tahun Masuk Malang

Status

Jumlah Karyawan di Markas


Jumlah Karyawan di Malang


Jawa Pos



Harian Pagi
32 halaman

350.000

36.000

1949

1979

Jawa Pos Grup

350 orang (termasuk 40 wartawan)

18 orang (termasuk 10 wartawan)

Kompas



Harian Pagi
36 – 44 halaman

430.000

8.000

1965

1970an

Kompas – Gramedia Grup

400+ orang (ter masuk 100+ wartawan)

7 orang (termasuk 2 wartawan)

Radar Surabaya


Harian Pagi
16 halaman

2.000 – 3.000

400

2001

2001

Jawa Pos Grup

57 orang (termasuk 35 wartawan)

1 orang

Surabaya Post


Harian Sore
20 halaman

85.000

17.000

1953


1974

CV Surabaya Post

150 orang (termasuk 55 wartawan)

12 orang (termasuk 6 wartawan)

Surya



Harian Pagi
20 halaman

150.000

22.500

1989

1989

Kompas – Gramedia Grup

250 orang (termasuk 70 wartawan)

10 orang (termasuk 6 wartawan)



[1] Dari wawancara pada 8/11/01.
[2] UU RI No. 40 1999 terlampir dalam Suroso, Menuju Pers Demokratis: Kritik Atas Profesionalisme Wartawan, Lembaga Studi dan Inovasi Pendidikan, Yogyakarta, 2001, hal. 205 - 214
[3] Lihat Lampiran A.
[4] Informasi mengenai Malang Post diperoleh dari beberapa karyawan Malang Post maupun beberapa karyawan Jawa Pos yang ditugaskan di Malang Post pada bulan September - Oktober 2001.
[5] Informasi mengenai pendirian Memo Arema diperoleh dari redaktur Memo Arema pada bulan November 2001.
[6] Lihat David T. Hill, The Press in New Order Indonesia, University of Western Australia Press / Asia Research Centre on Social, Political and Economic Change, Perth , 1994, hal. 121 - 122
[7] Informasi mengenai Radar Malang diperoleh dari Agus Purbianto, Pemimpin Perusahaan, Radar Malang pada bulan November 2001.
[8] Lihat Lampiran B.
[9] Surat kabar Suara Indonesia akan dibahas nanti dalam bab ini. Informasi mengenai Radar Surabaya diperoleh dari karyawan Radar Surabaya di Malang pada bulan November 2001.
[10] Lihat http://www.adgroup.jawapos.com/raya.html (ditinjau pada tgl 17 November 2001).
[11] Di Indonesia tidak ada badan independen yang memonitor tiras penerbitan. Angka tiras hanya terdapat dari terbitan sendiri.
[12] Informasi mengenai Surabaya Post diperoleh dari korespondensi dengan Zainal Arifin Emka, Pelaksana Harian, Wakil Pemimpin Redaktur dan Penanggungjawab di Surabaya Post pada bulan November, 2001, dan dari Djuroto, ‘Profil Wartawan Jawa Timur: Studi Tentang Kehidupan Wartawan’, Jurnal Penelitian Media Massa, Vol. 2, No. 3, Juli 1998, Balai Penelitian Pers dan Pendapat Umum Surabaya, Departemen Penerangan Republik Indonesia, hal. 56

[13] Informasi mengenai Surya diperoleh dari korespondensi dengan Pieter P. Gero, Pimpinan Redaksi Surya pada bulan November 2001, dari Surya Online di http://www.surya.co.id/profil.htm dan dari  David T. Hill, The Press in New Order Indonesia, 1994, hal. 121
[14] Lihat Lampiran B.
[15] David T. Hill, The Press in New Order Indonesia, 1994, hal. 90
[16] Margaret Cohen, ‘Fastest Gun in the East’, Far Eastern Economic Review, 25 Maret 1999

[17] Oki dan Agm, ‘Jadi Entreprenaur of the Year 2001’, Jawa Pos, 15 November 2001, hal. 1

[18] Agus S. Riyanto dan Wahyu Dhyatmika, ‘Carilah Jawa Pos Sampai ke Negeri Cina’, Tempo, 23 September 2001, hal. 52
[19] Lihat Margaret Cohen, ‘Fastest Gun in the East’, Far Eastern Economic Review, 25 Maret 1999, http://basisdata.esosoft.net/1999/03/24/0157.html
[20] Informasi mengenai Suara Indonesia diperoleh dari wawancara dengan kelompok wartawan Malang Post yang mantan wartawan Suara Indonesia, pada bulan November 2001 dan dari Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia (PPPI), Media Scene 1998/1999: The Official Guide to Advertising Media in Indonesia, PPPI, Jakarta, 1999, hal. 78

[21] Margaret Cohen, ‘Fastest Gun in the East’, Far Eastern Economic Review, 25 Maret 1999
[22] Lihat David T. Hill, The Press in New Order Indonesia, 1994, hal. 122. Informasi lain mengenai Bhirawa diperoleh dari kelompok wartawan Malang Post yang mantan wartawan Bhirawa, pada bulan November 2001.
[23] David T. Hill, The Press in New Order Indonesia, 1994, hal. 27
[24] ibid
[25] ibid hal. 27 - 28
[26] ibid hal. 27
[27] ibid hal. 28
[28] ibid hal. 164
[29] Pada tahun 1963 jumlah terbitan tambah sekitar 200 terbitan dari tahun sebelumnya. Untuk informasi lebih lengkap mengenai jumlah terbitan di Indonesia dari tahun 1945 sampai 1992, lihat David T. Hill, The Press in New Order Indonesia, 1994, hal. 164
[30] Krishna Sen dan David T. Hill, Media, Culture and Politics in Indonesia, Oxford University Press, Melbourne, 2000, hal. 53
[31] David T. Hill, The Press in New Order Indonesia, 1994, hal. 164
[32] Keperluan dapat SIC dicabut pada tahun 1977, tetapi SIT masih harus didapati sampai tahun 1982. Pada tahun 1982, SIT diganti oleh Departemen Penerangan dengan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP).
[33] Namun, harian Suara Karya yang didukung Golkar, tetap ada.
[34] Krishna Sen dan David T. Hill, Media, Culture and Politics in Indonesia, 2000, hal. 53
[35] Krishna Sen dan David T. Hill, Media, Culture and Politics in Indonesia, 2000, hal. 53
[36] Dari wawancara dengan salah satu redaktur Jawa Pos pada 23/9/01.
[37] Lihat Ignatius Haryanto, ‘Demografi Pers Indonesia Hari Ini’, Kompas Online, 23 Agustus 1997, http://basisdata.esosoft.net/1997/08/23/0032.html
[38] Krishna Sen dan David T. Hill, Media, Culture and Politics in Indonesia, 2000, hal. 58
[39] Misalnya, lihat Krishna Sen dan David T. Hill, Media, Culture and Politics in Indonesia, 2000, hal. 51 - 52
[40] Amnesty International, ‘Death of a Journalist’, Inside Indonesia, No. 52, October – December 1997, http://insideindonesia.org/edit52/amnesty.htm
[41] Lihat www.jawapos.com/info/index.php?go=about_us&lang=id&page=7
[42] Afa, ‘Dua Koran di Jatim Tunda Terbit’, Republika, 8 Februari 1998, http://basisdata.esosoft.net/1998/02/08/0100.html
[43] Suroso, Menuju Pers Demokratis: Kritik Atas Profesionalisme Wartawan, 2001, hal. 3
[44] UU tersebut terlampir dalam Suroso, Menuju Pers Demokratis: Kritik Atas Profesionalisme Wartawan, 2001, hal. 205 - 214
[45] Lihat John Olle, ‘Sex, Money, Power’, Inside Indonesia, No. 61 Januari – Maret 2000, www.insideindonesia.org/edit60/jolle1htm dan Margaret Cohen, ‘Fastest Gun in the East’, Far Eastern Economic Review, 25 Maret 1999.
[46] John Olle, ‘Sex, Money, Power’, Inside Indonesia, Januari – Maret 2000
[47] Lihat Ignatius Haryanto, ‘Demografi Pers Indonesia Hari Ini,’ Kompas Online, 23 Agustus 1997
[48] ibid
[49] ibid
[50] Lihat Mohammad Kholifan, ‘Kepakan Cenderawasih’, Pantau, Oktober 2001, hal. 27
[51] Bambang Mudjiyanto, ‘Kebebasan Pers Nasional Pasca Orde Baru’, Jurnal Penelitian Media Massa, Vol 2. No. 5 1999, Balai Penelitian Pers dan Pendapat Umum Surabaya, Departemen Penerangan Republik Indonesia, hal. 47
[52] Krishna Sen dan David T. Hill, Media, Culture and Politics in Indonesia, hal. 58
[53] Margaret Cohen, ‘Fastest Gun in The East’, Far Eastern Economic Review, 25 Maret 1999
[54] Lihat ‘Jadi Entreprenaur of the Year 2001’, Jawa Pos, 15 November 2001, hal. 1
[55] Margaret Cohen, ‘Fastest Gun in the East’, Far Eastern Economic Review, 25 Maret 1999
[56] ibid
[57] David T. Hill, The Press in New Order Indonesia, Perth, 1994, hal. 122
[58] Ketika Bhirawa dipindahkan ke Malang oleh JPG, Malang tidak ada surat kabar lokal lain.
[59] David T. Hill, The Press in New Order Indonesia, 1994, hal. 120. Untuk daftaran penerbitan yang dipunyai JPG di daerah itu, lihat  www.jawapos.com/info/index.php?go=media
[60] Wawancara dengan Bapak Suprijadi pada 7/11/01.
[61] Krishna Sen dan David T. Hill, Media, Culture and Politics in Indonesia, 2000, hal. 65
[62] ibid
[63] Wawancara dengan wartawan Malang Post pada 7/11/01.
[64] Lihat Margaret Cohen, ‘Fastest Gun in the East’, Far Eastern Economic Review, 25 Maret 1999, dan M. Kholifan, ‘Kepakan Cenderawasih’, Pantau, hal. 24 - 27
[65] Dari wawancara pada 25/9/01.
[66] Untuk informasi yang lebih lengkap mengenai fenomena ‘wartawan bodrek’, lihat Angela Romano, ‘I Always Throw the Envelope Away’, Inside Indonesia, No. 54, April – June 1998, http://insideindonesia.org/edit54/angela.htm
[67] Dari wawancara pada 7/11/01.
[68] Dari wawancara dengan Bapak Suprijadi, Kepala Humas, Pemkot Malang pada 7/11/01.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar