Rabu, 29 Desember 2010

PENUTUPAN BUDDHA BAR OLEH PN JAKARTA PUSAT


Nama                          : Ulfatun Niswah
NIM                            : 07110146
Kelas                           : E (PAI)
Tugas                          : Studi Agama-agama

Pada hari Rabu, 28 Juli 2010 ada peristiwa penting bagi umat Buddha di Indonesia: yakni telah ditutupnya Restoran Buddha-Bar Jl. Teuku Umar No. 1, Menteng, Jakarta Pusat, oleh Camat Menteng Efri, karena umat Buddha yang tergabung dalam Aliansi Masyarakat Tutup Buddha Bar (AMTBB) dan berjumlah 2.000 orang, berniat untuk menutup sendiri restoran milik PT. Nireta Vista Creative (NVC) itu.
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat mengabulkan sebagian permohonan Forum Anti Budha Bar (FABB) terkait penggunaan nama, simbol, dan ornamen Buddha dalam restoran Budha Bar. Majelis hakim memerintahkan pemerintah dan pemilik agar segera menutup Buddha Bar. “Buddha Bar telah menggunakan ornamen dan simbol-simbol yang bertentangan dengan agama Buddha,” ujar Ketua Majelis Hakim, FX Jiwo Santoso dalam sidang putusan di PN Jakarta Pusat,Rabu(1/9).
Majelis hakim berkeyakinan nama Buddha, penggunaan patung serta simbol agama Buddha, dalam restoran tersebut telah melanggar norma kesusilaan, meski telah ada izin dari Pemda Jakarta. Selain memerintahkan penutupan, majelis juga memerintahkan PT Nireta Vista Creative, Dinas Pariwisata, dan Gubernur DKI Jakarta untuk memberikan ganti rugi immaterial sebesar Rp1 miliar, meski dalam gugatan hanya Rp 500 juta. Hal ini dikarenakan sesuatu yang berhubungan dengan agama sifatnya priceless. Pemilik Buddha Bar dijerat menggunakan pasal 5 Undang-Undang Merk, pasal 1365 KUHP tentang perbuatan melanggar hukum, dan pasal 1 ayat 13 keputusan Gubernur tahun 1994, serta pasal 6 huruf a tentang pariwisata.Ditemui usai sidang, salah satu tokoh agama Buddha, Sugianto Sulaiman, mengaku puas dengan keputusan hakim. “Kami puas dengan putusan majelis hakim, kalau tidak ditutup kita akan tutup dengan cara kami. Ini merupakan dasar hukum penutupan Buddha Bar,” katanya.
Pelajaran di balik penutupan Buddha Bar:
Kejadian ini penting, karena apa yang terjadi kemarin merupakan puncak perjuangan umat Buddha selama 20 bulan dalam menegakkan kehormatan dan keagungan agamanya yang dianggap telah dilecehkan oleh perusahaan milik pengusaha yang juga anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dari daerah pemilihan DKI Jakarta, yakni Djan Faridz tersebut, tapi juga karena keberhasilan yang diraih dengan perjuangan sendiri dan berbekal kenekatan.
Sebelum restoran itu ditutup, umat Buddha melakukan demonstrasi di Bundaran HI untuk mendesak pemerintah agar segera mendengarkan aspirasi dan tuntutan mereka, yakni menutup Restoran Buddha-Bar. Mereka beranggapan bahwa restoran yang dekorasi ruangannya dihiasi oleh patung Buddha dan ornamen-ornamen Buddha tersebut, menjual minuman keras dan menyajikan sexy dancer yang mengumbar aurat dan syahwat. Dari lokasi inilah, umat Buddha mendemo Kedubes Perancis untuk mendesak perwakilan Negara tersebut agar perusahaan George V. Restauration, mencabut kembali lisensi yang diberikan kepada PT. NVC sehingga merek Buddha-Bar tak bisa lagi beroperasi di Indonesia.
Umat Buddha memang benar-benar sangat marah kepada pemerintah dan aparat, karena meski jelas-jelas keberadaan Restoran Buddha-Bar sangat meresahkan umat Buddha, Akan tetapi, tetap saja dapat beroperasi. Padahal merek dagangnya pun telah dicabut Dirjen HAKI. Yang lebih memprihatinkan lagi. Bahwa pada tanggal 23 April 2009, Dinas Pariwisata dan Kebudayaan DKI Jakarta juga telah mencabut izin operasional restoran itu, namun restoran milik Djan Faridz tersebut seperti kebal hukum dan kebal terhadap peraturan apapun.
Kejadian seperti ini mengingatkan kita pada perisitiwa lengsernya pak Harto pada tahun 1998. Sebelum digulingkan, pak Harto laksana pemilik negara yang mustahil untuk dapat digantikan oleh siapapun, meski sebagian rakyat sudah tidak suka lagi kepadanya. Namun berkat kekuatan seseorang, yakni yang dipelopori oleh mahasiswa, akhirnya pak Harto dengan berat hati menyerahkan tampuk kekuasaannya kepada BJ Habibie.
Saya menjadi bertanya-tanya dalam hati, apakah harus selalu dengan cara seperti ini keinginan rakyat di Indonesia dapat dicapai? Dalam banyak persoalan, termasuk dalam pemberantasan korupsi, penyediaan listrik dan BBM, masyarakat sudah sangat sering memprotes bahkan mengeluh, namun tak kunjung ada hasilnya. Bahkan semakin hari kehidupan masyarakat menengah bawah semakin terjepit akibat harga kebutuhan yang terus melambung, sementara korupsi yang menggerogoti keuangan negara, tak kunjung dapat diberantas. Bahkan KPK yang dijadikan sebagai ujung tombak pemberantasan korupsi, secara sistematis telah dilemahkan. Padahal, uang yang dikorupsi itu dapat dimanfaatkan untuk menyejahterakan kehidupan rakyat Indonesia.
Saya berharap sekali, para elit politik dan kekuasaan terbuka mata hatinya, bahwa dijatuhkan oleh rakyat sangat merendahkan martabat pribadi dibanding mengundurkan diri jika sadar tak mampu. Atau alternatif yang lebih baik, segera penuhi harapan rakyat dengan melakukan tindakan nyata dan tidak lagi menyebar jargon-jargon sebagai lips servis belaka. Karena, rakyat Indonesia sudah tidak lagi sebodoh sepuluh atau dua puluh tahun yang lalu. Amin….

Tidak ada komentar:

Posting Komentar