Rabu, 29 Desember 2010

Artikel Budayakan Korupsi!!


 Kaget?! tentu saja. Siapa yang tidak tercengang dengan ajakan untuk membudayakan korupsi. Bukankah korupsi itu hal yang dibenci karena membuat banyak orang menderita dan dirugikan? Perlu menjadi sebuah catatan bersama bahwa korupsi merupakan perilaku yang melanggar hukum (makar) karena merugikan orang lain, masyarakat, bangsa dan Negara. Bahkan, perilaku semacam ini dapat mengancam perpecahan dan menyebabkan permusuhan antar sesama.
Saat ini, istilah korupsi sering diidentikkan dan dipersempit makna menjadi perilaku makar yang hanya berhubungan dengan penggelapan atau penyelewengan uang negara demi kepentingannya sendiri yang seharusnya digunakan untuk kesejahteraan masyarakat, tanpa adanya transparansi kepada atasan maupun pemerintah dan masyarakat. Apakah hanya demikian makna korupsi? Tentunya kurang tepat, karena masih banyak wajah-wajah baru tentang korupsi yang belum kita sadari. Munculnya definisi tersebut karena memang mind set pertama yang terbangun adalah tentang penggelapan uang Negara atau masyarakat yang tidak bisa dipertanggungjawabkan secara hukum.
Diakui atau tidak, korupsi saat ini tidak hanya dilakukan oleh pihak tertentu yang memiliki jabatan strategis dalam instansi pemerintah maupun swasta, dulu orang harus memiliki jabatan penting baru bisa menggelapkan uang. Namun, saat ini orang yang duduk di jabatan manapun bisa menilap uang Negara hingga milyaran rupiah, contoh sederhana terungkapnya kasus Gayus HP Tambunan dan beberapa oknum perpajakan di Surabaya.
Dalam bangsa ini, korupsi tidak hanya menggejala di pemimpin-pemimpin bangsa saja, tetapi telah merambah jauh dalam sendi-sendi kehidupan masyarakat terkecil. Seorang pegawai pemerintahan memperoleh gaji setiap bulan yang seharusnya bekerja untuk melayani masyarakat sebaik dan sejujur mungkin justru lebih suka duduk manis di rumah, liburan ke luar kota atau luar negeri. Bahkan ada yang datang dan bekerja untuk mencari keuntungan pribadi, kasus semacam ini sudah menjalar hingga tingkat kecamatan dan kelurahan.
Pernah suatu ketika, saya ingin mendapatkan hak sebagai warga Negara yakni mendapatkan KTP, segala persyaratan administrasi sudah lengkap sebagaimana yang telah disebutkan petugas. Alangkah kagetnya ketika masuk untuk interview ada penawaran pembuatan KTP lebih cepat “tentunya juga harus merogoh kocek lagi”. Betapa sulitnya hidup di Negara yang penduduknya sudah bermental-mental korup. Bahkan untuk memperoleh KTP saja harus
dipersulit sebelum menyerahkan sejumlah uang meski harus menjual ayam satu-satunya dengan dalih memperlicin pembuatan KTP.
Tidak sedikit pula orang tua yang mengkorupsi pendidikan anak-anaknya sebagai amanah Tuhan yang seharusnya mendapatkan pendidikan (moral dan agama) sebagai mana mestinya, digantikan pendidikan yang hanya bersifat duniawi belaka. Ini merupakan salah satu bentuk korupsi baru yang tidak nyata dan tidak disadari oleh sebagian masyarakat, sehingga lebih banyak mengasumsikan bahwa hal semacam itu memang wajar dan bukan merupakan bagian dari korupsi. Bagaimana tidak anak yang seharusnya mendapatkan hak pengajaran penuh terhadap ilmu harus di cut oleh orang tuanya.
Bukankah ini indikasi bahwa korupsi memang sudah membudaya di Negara kita. Maka tidak berlebihan kala Buya Syafi’i atau biasa orang menyebut dengan Ahmad Syafi’I Ma’arif (mantan ketua umum pengurus Pusat Muhammadiyah) menyebut bahwa kita berada di lingkungan yang serba tidak jelas, tidak tegas dan sangat sulit dibedakan antara angguk-angguk dan geleng-geleng, antara iya dan tidak.
Lalu kenapa saya mengambil judul tersebut kalau sudah mengetahui dan merasakan sendiri betapa korupsi membawa dampak negative yang kian luas di masyarakat? Apakah saya sudah tidak percaya dan putus asa dengan keinginan pemerintah untuk memberantas korupsi dengan adanya berbagai instansi penegak hukum seperti kepolisian, kejaksaan agung, KPK dan sebagainya dalam upaya menciptakan keadilan? Ataukah saya sudah tidak bisa berfikir jernih hingga harus mengatakan bahwa korupsi harus di budayakan?? Jangan terburu-buru mengambil kesimpulan!
Buya Syafi’i pernah menulis opini yang cukup menggegerkan media Indonesia bahkan terkesan sangat kejam dengan judul “Bubarkan KPK!!” bukankah sangat fantastis ketika Syafi’i Ma’arif sebagai agamawan dan cendekiawan mengeluarkan tulisan dengan judul yang sangat controversial dan berbau perpecahan?? Padahal beliau merupakan salah satu anggota panitia seleksi bagi lembaga penghalau korupsi itu. Dalam tulisan terakhirnya beliau mengatakan bahwa anda tidak perlu kaget dengan judul tersebut karena dalam ilmu ushul fiqh disebut dengan mafhum mukhalafah atau harus dimaknai sebaliknya (Kompas 21/4).
Artinya, dalam tulisan ini anda juga tidak harus memaknai secara tekstual bahwa korupsi memang harus dibudayakan. Apapaun alasannya, perilaku korupsi memang tidak bisa di ma’afkan dan harus dihapus dari bumi pertiwi yang kita cintai. Tentu hal ini membutuhkan
penyelesaian bersama dari berbagai elemen, baik pemerintah, lembaga penegak hukum seperti kepolisian, kejaksaan, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), hingga partai politik dan masyarakat untuk selalu ikut serta dalam menindak koruptor dan tidak ikut larut dalam gegap gempitanya korupsi seperti yang terjadi selama ini terjadi.
Sepertinya memang sulit untuk menghapus korupsi, disamping sudah membudaya, tidak ada hukuman tegas dan menjerakan terhadap pelakunya. Akan tetapi jika mau lebih berfikir jernih, banyak hal yang dapat dilakukan untuk mengurangi korupsi di Negara ini. Pertama, kesadaran segenap elemen bangsa (rakyat maupun pejabat) terhadap korupsi sebagai suatu perilaku yang patut dijauhi dan disingkirkan sejauh mungkin karena merugikan masyarakat, bangsa dan Negara.
Kedua, memberikan efek jera bagi pelaku korupsi. Efek jera dapat dilakukan dari berbagai jalur, pertama jalur hukum yang dimotori pengadilan berupa sanksi dalam penjara bagi pelakunya, dari hukuman seumur hidup hingga hukuman mati (meskipun hukuman ini “mati” banyak dipertentangkan banyak orang yang mencoba melindungi korupsi di tengah kesakitan dan kekeroposan bangsa). Kedua, efek jera dari sanksi sosial, seperti pengkucilan dari masyarakat dan sebagainya. Cara ini terkesan tak berperikemanusiaan tapi cukup efektif untuk memberikan efek jera terhadap pelaku korupsi.
Ketiga, bersikap kritis terhadap kinerja pemerintah, aparat penegak hukum apabila telah keluar dari norma-norma keagamaan maupun konstitusi (Undang-undang dasar Negara Indonesia). Tentunya dengan harapan bahwa kesakitan bangsa akibat membludaknya korupsi dapat berkurang bahkan hilang untuk selamanya dari bumi pertiwi Indonesia.

Mukhlis Hidayat
Kader Muda Muhammadiyah, Penggiat Al-kautsar Institue
Mahasiswa UIN Maliki Malang
Nama : Mukhlis Hidayat
Alamat : Jl Sumbersari Gang III 147 C Lowok Waru Kota Malang
Nomor rekening : 0532035554
Judul Opini : Reboisasi ekologi jawa Timur

1 komentar:

  1. Casino | DrMCD
    Get the best casino news 경상남도 출장마사지 on all your favorite slots, video slots, 남원 출장마사지 and other games! Visit 부천 출장마사지 Dr.MCD today for your chance 구미 출장샵 to win 제천 출장마사지 your favorite slot, video poker

    BalasHapus